Bab. 8

10.7K 1K 160
                                    

Yue

Aku berdecak kesal, mengemasi ransel ku. Bersiap meninggalkan asrama karyawan cafe tempat ku bekerja, salah Vance yang membuat masalah sehingga aku dipecat.

Pergi begitu saja setelah menerima gaji terakhir ku, terlalu malas untuk adegan melankolis yang konyol dengan orang-orang munafik yang sok bersimpati padaku, walau nyatanya mereka asik mengunjing ku di belakang.

Aku tak masalah harus pergi tanpa tujuan, mencari pekerjaan sampingan baru sambil hidup bertenda di taman kota.

Bukannya aku pelit, tak mau menggunakan tabungan hasil memeras Vance. Hanya saja uang itu untuk membangun galeri impianku, bukan uang yang bisa dengan mudah kugunakan untuk menyewa tempat tinggal.

Lagi pula hidup di tenda tak buruk juga, selain hemat, juga terasa bebas dan yang terpenting... Orang-orang asing yang tak kukenal suka seenaknya salah paham dan mengasihani ku. Mereka dengan bodohnya mengira aku anak kecil yang kabur dari rumah, memberiku makan dan minum gratis.

Bahkan tak sedikit yang mengizinkan aku untuk bermalam di rumah mereka hanya karena aku memasang ekspresi wajah memelas.

Salah satu keuntungan terlahir jadi orang Asia yang tinggal di Eropa, tubuh kecil dan wajah mudaku membuatku tampak sepuluh tahun lebih muda di mata mereka. Kadang saat aku mengaku berumur dua belas tahun saja mereka percaya kok.

Setelah tenda ku terpasang, aku menyalakan api unggun kecil, memancing warga setempat yang tinggal di dekat sini untuk datang memberiku makan.

Dan lihat saja, hanya dalam waktu beberapa menit, dua orang wanita tua sudah datang membawakan makanan untuk ku.

Buru-buru aku berselimut, memasang wajah seperti anak terlantar, tersenyum seperti anak kecil tak berdosa saat seorang nenek meletakkan sebuah keranjang berisikan pai apel. "Terima kasih Nek."

"Sama-sama Nak, sedang apa di tenda sendirian?" Tanya Si Nenek.

"Orang tua mu kemana Nak?" Kalau yang ini tanya seorang nenek yang membawakan setoples cookies dan beberapa kaleng susu segar.

Memang enak punya wajah cantik yang bisa menarik simpati dan empati. "Mereka sudah tiada, aku tak punya tempat tinggal..." Sekalian saja kugunakan, lengkap dengan cerita sedih yang menguras air mata.

Tak lama, kami asik bercerita. Atau lebih tepatnya aku asik panen pemberian para tetangga yang semakin berdatangan. Hanya bermodal sedikit akting dan cerita masa kecil ku di panti asuhan, juga cerita saat aku berpindah-pindah hidup di tenda sambil kerja apa saja untuk hidup. Padahal sebenarnya semuanya itu kulakukan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.

Hingga akhirnya larut dan mereka pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan begitu banyak cadangan makanan untuk beberapa hari ke depan. Juga beberapa orang kakek baik hati memberi ku uang jajan, sungguh hidup yang mudah. 

Sudah lama aku tak hidup seperti ini, rasanya seperti baru kemarin saja aku bisa hidup enak dan memiliki kamar yang hangat. Sayangnya semua itu hanya sementara, bukan sesuatu yang benar-benar kumiliki. Melainkan semuanya milik Vance yang penuh tipuan...

Merasa malas mengingat manusia denial itu, aku putuskan untuk tidur saja, bergelut di dalam selimut sambil memeluk erat-erat tas berisikan semua hartaku. 

Namun saat sudah hampir tertidur, seseorang seenaknya masuk ke dalam tendaku. Aku langsung was was, mengeluarkan pistol milik Vance yang tak juga ku kembalikan sejak ia beri waktu ketahuan main serong dulu, mengenggam benda perak itu di balik selimut. Berjaga-jaga demi melindungi uang dan buku tabunganku yang berharga.

"Ck. Diberi harta yang banyak malah menolak demi hidup di tenda, apa yang sebenarnya kau inginkan." Sinis Vance, seketika itu jantungku langsung berdetak keras.

OBSESSION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang