"Mau minum? Aku yang traktir." Tawarnya padaku.
"Tidak usah. Itu tidak perlu. Terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan dan menjelaskan semuanya."
Aku keluar dari mobil dan pulang ke rumah. Hari sudah malam. Tetapi, langit malam tidak seindah malam kemarin. Mungkin sedang menggambarkan keadaan hatiku yang kelam.
Sesampainya di apartemen, aku langsung mendudukkan bokong ku ke sofa. Aku kesal tak karuan. Untuk apa dipertemukan dengan Jungkook jika berakhir seperti ini? Lebih baik kita tidak bertemu sama sekali.
Bibirku tak sanggup bicara. Pipiku basah karena air mata. Kenangan indah empat tahun lalu sekarang menjadi mimpi buruk bagiku. Dan aku ingin bangun dari mimpi buruk ini.
Ting.. Tong..
Seseorang menekan bel. Aku mengusap pipiku yang basah lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Hai. Maaf mengganggumu lagi." Oh, ternyata Jimin.
Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tau kamar Apartemenku?
"Dari mana kau tau aku tinggal disini? Dan untuk apa kau kesini?"
"Yoongi menyuruhku mengantarkan ini padamu. Katanya dari ibumu."
Jimin berjalan masuk ke dalam dan meletakkan sebuah box di meja. Aku menggerutu dalam hati. Kenapa harus Jimin sih?
"Kau habis menangis?"
"Tidak."
"Tapi matamu bengkak."
"Tidak."
"Bohong!"
"Bukan urusanmu, Jimin."
"Jangan menangis. Aku tidak suka melihat perempuan menangis. Apalagi perempuan sepertimu."
Jimin menyerahkan sebuah tisu. Aku mengambilnya dan mengusap pipiku lagi.
"Terima kasih."
"Berhentilah menangis. Tidak ada yang perlu disesali."
"Sok tahu!"
"Aku yakin kau sedang patah hati."
Jimin benar. Aku tidak bisa menjawab. Walaupun dia menyebalkan, ternyata dia punya sisi baik juga.
"Kalau tidak keberatan, kau bisa cerita kok."
Aku menggeleng lemah, menolak tawaran Jimin. Sebenarnya aku memang membutuhkan seseorang untuk mencurahkan isi hatiku. Tapi aku pikir Jimin bukan orang yang tepat.
"Kalau kau berpikir aku bukan pendengar yang baik, kau salah. Aku sering mengatasi beribu-ribu masalah seperti ini."
"Kau yakin akan mendengarkan semuanya? Masalah ini begitu rumit."
"Yeri, aku sering melihat ibuku menangis. Dan ia selalu bercerita padaku."
Aku duduk di sofa. Mataku mulai berair lagi. Sekarang aku tidak perduli siapa Jimin dan bagaimana sikapnya padaku kemarin. Aku hanya ingin bercerita tentang aku dan Jungkook.
Mungkin kejadian itu sudah lama sekali. Empat tahun yang lalu. Saat itu aku masih bersekolah, belum mengenal kehidupan sebenarnya seperti sekarang.
Dulu, ayahku sering mengomel setiap kali aku melanggar perintahnya. Aku belum mengerti mengapa dulu ayahku seperti itu, bersikap keras padaku. Tapi aku sekarang paham.
Jimin terus mengambil berlembar-lembar tisu dan menyerahkannya padaku. Sesekali dia membantu menyeka pipiku yang basah.
Sikap Jimin padaku berbeda drastis. Bagai bumi terbalik. Aku cukup kesulitan untuk menyampaikan cerita rumit ini. Mungkin karena hanya aku yang mengalaminya.
"Kau berhak menangis. Kau juga berhak untuk marah, Yeri. Tapi semua sudah terlambat, mereka sudah lama menjalin hubungan."
"Lalu bagaimana aku bisa melupakannya jika aku sering bertemu dengannya? Dia mengingatkanku akan banyak hal."
"Kalau memang Jungkook tidak mengenalmu lagi, kau bisa apa? Dulu bahkan dia tak tulus menyayangimu. Maaf aku berkata demikian."
Aku diam menatap keluar jendela. Pemandangan kota yang indah kini tak berarti apapun untukku. Jimin benar. Jungkook sudah tak mengenaliku.
"Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku, Jim."
"Sama-sama. Jika kau mau cerita lagi, aku siap mendengarkanmu."
Kami tertawa. Aku menggeleng. Tidak baik terlalu sering cerita pada orang. Jimin berpamitan sebelum pulang dan untuk pertama kalinya, dia tersenyum padaku.
Aku memutuskan untuk menghabiskan sisa waktuku hari ini dengan menonton televisi. Bagaimana dengan besok?
Aku takut menghubungi Jungkook. Aku takut mengganggunya. Dan juga takut sakit hati untuk kesekian kalinya.
Semoga hari-hari selalu berjalan dengan cepat. Dan mengalir seperti air.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie ; j.j.k
FanfictionJungkook.. Jeon Jungkook. Itukah kamu? Kamu masih hidup atau hanya perasaanku?