Part 17 --Dark whisper--

78 12 0
                                    

Hello, readers! Apa kabar nih? Belakangan ini, I just found out kalau beberapa dari kalian itu baru baca cerita aku kalau update nya udah agak banyakan ya?

Maaf ya kalau sampai harus kayak gitu. Kalau aku ada waktu pasti aku update lebih kok—kecuali kalau ada paksaan dari *ehem Rena *ehem atau beberapa readers lainnya—Iya kalian boleh request cepetan update atau double update (yang ini sangat diusahakan). Baru tau ya aku sebaik itu? Kan kalian gak nanya XD
Kalau ada typo, katakan..

Cing-cong cukup sekian...
Happy Reading^^
Perang sudah dekat lho #spoileralert!

**********************

Badai sudah mulai reda. Nampaknya ketenangan akhirnya berhasil menaklukan Calista. Tidak ada lagi hujan maupun petir. Anak-anak Expecto kini sudah lumayan mahir dalam bertarung dan sihir. Vera adalah anak yang paling menonjol dalam hal sihir dan Satrio-Adnan adalah anak-anak yang paling menonjol dalam hal bertarung. Inilah enaknya mengajar anak-anak Expecto, mereka belajar dengan cepat.

Sejak pusing gila hari itu, mereka mulai merasa lebih kuat dari biasanya. Yang mengejutkannya, bahkan Avyra dan Sinta juga sangat mahir dalam hal ini. Siapa sangka?

Namun, kalau soal kekuatan, terkadang ada yang merasa lebih dari yang lain. Dan jangan salah, mereka hanya anak-anak biasa, jadi hal itu pasti terjadi. Entahlah, toh bagaimana pun mereka hanya manusia.

Kini mereka sedang berlatih di halaman depan, dibimbing oleh adik-adik Calista. Tentu saja Alex dan yang lainnya tidak dapat mengajar mereka karena beberapa alasan yang lebih penting. Namun mereka tetap memantau semuanya, bahkan Calvados—barangkali ada yang bisa ia jahili—tentu tidak. Calvados bisa memisahkan mana waktu untuk serius dan mana waktu membunuh.

"Astaga, cara mengendalikan sulur tanaman bagaimana sih? Susah juga ya.." ujar Satrio bingung.

"Aaahh, itu sih biasa saja. Kita hanya perlu kefokusan dan imajinasi yang hemat lalu—BOOM! Semuanya terjadi begitu saja. Mudah kan?!" balas Dita.

"Iya bagi kalian," ujar Satrio.

"Bagi aku sama saja," ujar Intan.

"Oke, bisa kalian diam? Telinga kami sudah berdarah sejak awal karena hal ini," sela Veron sinis.

"Lho, kan aku hanya—"

"Sssshhh. Avyra giliranmu!" seru Victor.

Avyra berjalan ke depan dengan perasaan yang kurang mendukung. Kini ialah yang harus menghadapi sulur-sulur beracun itu. Tangannya berpendar hijau ketika ia mengucapkan mantra. Diarahkan tangannya ke arah sulur-sulur pengganggu itu. Awalnya berhasil, tapi lama-lama tanaman itu hilang kendali dan malah semakin liar. Tanaman itu menggeliat ke sana ke mari hingga Avyra sendiri harus mengalami luka parah di lehernya karena kejadian itu.

Bukannya ditolong, teman-temannya hanya ribut di tempat, bahkan ada beberapa dari mereka yang mengejek. Veron melangkahkan kaki ke arahnya dan memapahnya ke samping lapangan. Ia membuat perban dari sihirnya. "Akan sembuh dalam waktu sehari. Tidak apa-apa kan?" tanya Veron lembut. Ini bukan saatnya untuk mengejek.

Dalam tundukannya, Avyra mengangguk pelan. Veron kembali ke tengah lapangan untuk melatih yang lainnya.

"Cari perhatian sekali dia," sindir salah satu anak cewe. Mungkin dia pikir dia bisa, seperti kebanyakan orang.

"Sinta!" panggil Victoria, yang berarti sekarang gilirannya.

Sinta dengan ngeri maju ke depan. Apa yang telah terjadi pada sahabatnya membuatnya ngeri semua itu akan terjadi padanya. Bagaimana kalau ia gagal? Bagaimana kalau ia tidak bisa seperti yang lainnya?

Blood Of FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang