CHAPTER 1

4.9K 319 5
                                    

Hujan yang turun sejak siang tampaknya belum ingin berhenti meski kini hari menjelang malam. Mendung yang menggantung masih berwarna hitam meski sudah berjuta - juta liter air diturunkan, menjadi tanda kalau hujan masih akan lama.

Jalan kecil yang sedikit rusak, tergenang air cukup dalam, beberapa yang tidak terendam tampak berlumpur.

Sepasang kaki kecil bersepatu putih, yang kini sudah tidak berwarna putih lagi karena noda - noda lumpur yang menempel, bergerak lincah melompati genangan air yang tampak disana - sini. Mencari tempat yang sekiranya bisa dipijak tanpa harus menambah kotor lagi sepatunya.

Jas hujan berwarna kuning membungkus tubuh kecilnya hingga nyaris tak terlihat. Anak itu berjalan cepat menerobos hujan karena hari sudah semakin sore. Dia tadi terlalu lama bermain di rumah temannya hingga tidak menyadari matahari sudah bergerak ke arah barat. Mungkin karena hujan yang turun, jadi dia tidak bisa melihat pergerakan matahari. Apapun itu, dia sudah terlambat pulang.

Langkah anak itu terhenti sejenak saat menyadari dia sudah terlambat pulang, ada ingatan buruk yang terlintas di kepalanya. Dulu, ayahnya di rumah pasti akan memukulinya jika dia terlambat pulang atau melakukan kesalahan sekecil apapun kesalahan itu. Kadang ayahnya juga akan menguncinya di gudang tanpa memberinya makan hingga pagi tiba.

Tubuh anak itu menggigil mengingat semua kenangan buruk itu. Bibir pucatnya yang sedikit membiru karena dingin digigitnya kuat, berusaha menghalau masa lalunya yang ingin segera dilupakan.

Yah,.. hanya masa lalu, karena kini dia sudah tinggal dengan keluarga baru. Keluarga angkat yang sudah berbaik hati merawatnya setelah kematian ayahnya yang aneh. Ayahnya meninggal saat tidur. Kejadian itu sudah setahun yang lalu. Dia juga tidak mengerti, yang dia tahu, dia pergi ke sekolah seperti biasanya. Ayahnya masih tidur. Dan saat dia pulang, ayahnya tetap masih tidur. Penasaran, kaki kecilnya dilangkahkan untuk masuk ke kamar yang di tempati ayahnya, ingin membangunkan satu - satunya keluarganya yang tersisa.

Tapi saat tangan kecilnya menyentuh lengan ayahnya, sontak dia langsung menariknya kembali. Tangan ayahnya sangat dingin, mirip sebatang es yang tadi dia makan sepanjang perjalanan pulang. Takut terjadi apa - apa dengan ayahnya, dia kemudian berlari ke rumah terdekat untuk mencari pertolongan.

Dia tidak tahu. Dia tidak mengerti apapun saat orang - orang mulai datang ke rumahnya, saat beberapa polisi menanyakan berbagai hal tentang ayahnya juga orang - orang yang mulai bergosip dan bercerita bahwa ayahnya meninggal karena overdosis obat tidur.

Dia tidak mengerti. Hanya satu yang dia tahu, dia kini sendirian di dunia ini. Tidak ada siapapun lagi. Tubuh kecilnya duduk meringkuk di sudut kamar. Kepalanya ia benamkan diantara lututnya. Bingung dan takut. Apa yang bisa dia lakukan sendirian. Tidak ada siapapun yang dia miliki sekarang.

Dan ketika ada seorang wanita yang mengulurkan tangan padanya, mengatakan dia boleh tinggal bersama mereka, saat itu juga dia langsung menerima. Apalagi yang bisa dia lakukan selain menerima. Dan bersama wanita itu dan keluarganya dia menemukan kebahagiaan yang sebenarnya. 

Rumah besar tempat dia tinggal sekarang sudah ada di depan matanya. Rumah dengan dominan warna putih dan taman yang terawat rapi, membuat senyum di wajahnya mengembang. Berlari kecil, anak itu memasuki teras rumah. Jejak - jejak lumpur dari sepatunya mengotori lantai marmer yang mengkilat.

Tangan kecilnya meraih handle pintu dan menariknya pelan. Tidak ingin mengejutkan kedua orang tua angkatnya yang pasti sudah merasa khawatir karena pulang terlalu sore, atau mungkin hampir malam.

Baru saja dia melangkah masuk dan menutup pintu, langkah kakinya terhenti. Air hujan masih menetes dari jas hujan yang belum di lepasnya. Tubuhnya mendadak kaku tidak bisa di gerakan. Kedua tangan kecilnya mengepal gemetaran.

Di hadapannya, di ruangan luas dimana biasanya dia dan keluarga angkatnya berkumpul dan bercanda, ada tiga orang dengan wajah tertutup topeng, tampak sedang tertawa - tawa. Mereka sedang mengumpulkan kotak - kotak berisi perhiasan dan barang berharga lainnya. Sementara di lantai marmer yang biasanya selalu bersih, tampak noda - noda merah berceceran dengan dua sosok tubuh yang dia kenali sebagai orang tua angkatnya tergeletak tak bergerak. Matanya juga melihat tubuh kakak angkatnya yang berada di bawah tangga dengan kepala yang mengeluarkan darah.

Melihat ada orang masuk ke dalam rumah, tiga pria asing itu segera menoleh. Dan dengan seringai menakutkan menghampiri anak kecil yang berdiri gemetaran di dekat pintu. Mengacungkan pisau berlumuran darah ke arahnya.

Dirinya begitu takut melihat orang - orang jahat itu mendekatinya, dia ingin lari tapi kakinya seolah terpaku ke lantai. Ingin berteriak, tapi mendadak tenggorokannya kering hingga tidak ada suara yang keluar. Pandangannya mulai mengabur, dan seolah melihat mimpi, telinganya mendengar jerit ketakutan dan ratapan yang menyayat. Samar - samar. Tidak jelas, siapa yang berteriak, siapa yang memaki. Ada banyak warna merah di penglihatannya yang kabur, hingga akhirnya berubah gelap sama sekali.

Mimpi. Itu yang pertama kali dipikirkannya saat matanya terbuka. Dia menyadari sedang duduk bersandar di pintu masuk. Dan apa yang dilihat di depan matanya mengatakan ini bukan mimpi. Mayat - mayat keluarganya masih tergeletak disana, tapi kini mayat - mayat itu bertambah. Tiga mayat lain yang dia kenali sebagai pria jahat bertopeng, tergeletak bergelimpangan dengan luka - luka yang mengerikan.

Luka tusukan dan sabetan pisau. Luka tikaman bahkan ada yang tenggorokannya berlubang dan masih mengucurkan darah.

Gemetar ketakutan, dia mengangkat kaki kecilnya agar berdiri. Meraih pintu dan membukanya. Secepatnya berlari pergi dari rumah yang penuh bergelimpangan mayat. Berlari terus menerobos hujan yang mengalirkan air ke seluruh jas hujan yang dipakainya. Membersihkan semua noda yang menempel saat berada di rumah itu.

Tidak memperdulikan arah ataupun tujuan. Yang ingin dilakukannya hanyalah berlari pergi dari bayang - bayang mimpi buruk yang dilihatnya. Tidak peduli kemana kaki kecilnya melangkah yang ada di kepalanya hanya harus berlari sejauh mungkin meninggalkan tempat itu.

Ckkkiittt.... braakk..

Tubuh kecilnya limbung, saat sesuatu yang keras menghantam tubuhnya, membuatnya terpental cukup jauh. Pandangannya kembali mengabur, kali ini karena tertutupi cairan merah yang keluar dari kepalanya. Samar - samar di dengarnya derap langkah tergesa yang menghampiri. Sesaat dia merasakan tubuhnya terangkat, melayang. Seseorang menggendongnya dan meletakannya di tempat yang empuk dan kering. Hanya sampai disitu. Dia kembali tenggelam dalam tidurnya.

▶◀

"Kumohon bertahanlah. Sebentar lagi sampai'' seorang pria berambut putih dengan kacamata bertengger di wajahnya mengusap keringat panik saat menyadari anak kecil yang tidak sengaja di tabraknya memejamkan mata. Sepertinya pingsan. Darah yang terus keluar dari kepalanya membuatnya semakin cemas. Pria itu memutuskan untuk menginjak pedal gas lebih dalam. Memacu mobilnya secepat mungkin menerobos hujan yang masih terus mengguyur.

Tbc.

Yeahh... saya punya cerita baru. Ada yang minat...? 😅

Nggak ya.. 😔

DON'T SAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang