Justin berjalan di sepanjang koridor Rumah Sakit dengan pandangan kosong. Setelah mendapati kabar buruk dari Marve, Justin langsung memutuskan mencabut selang infusnya, meninggalkan ruang inap sementaranya dan meneriaki siapa saja yang berusaha menghalangi langkah kaki pria itu.
Kurang dari 45 menit, Justin sampai di Rumah Sakit tempat istrinya sering melakukan check-up dengan menggunakan taxi karena ia sama sekali tidak tau dimana keberadaan mobilnya, walaupun ada, pria itu pasti lebih memilih tidak megendarainya, mengingat kondisinya sekarang.
Saat ini sudah menunjukkan waktu dini hari, tetapi Rumah Sakit tersebut masih terlihat sangat ramai. Kamar nomor 181 lantai 3 lah tujuan Justin kali ini. Kakinya gemetar, pandangan matanya juga tidak bisa terlalu fokus, karena pusing serta beberapa bagian lukanya yang masih terasa nyeri. Namun tetap, laki-laki itu tidak menghentikan langkahnya untuk menemui seseorang.
Pria itu menghembuskan nafas pelan, tinggal beberapa langkah lagi ia akan berdiri tepat didepan pintu ruang inap Selena. Namun, perhatiannya sedikit teralihkan dengan seseorang yang sedang duduk dan menunduk sambil memagang ponsel di telinga kirinya. Justin mendesah. Ia sedang tidak ada kekuatan apapun untuk melawan pembantu kurang ajarnya itu. Sudah dapat justin perkirakan, bahwa pembantunya itu ingin melakukan sesuatu hal kriminal pada dirinya, mengingat Pria itu adalah utusan yang disuruh ayahnya untuk menjaga Selena.
Seakan helaan nafas Justin terdengar oleh Jhon, laki-laki itu langsung mendongak dan bertatap mata langsung dengan sang majikan. Justin menelan air ludahnya saat melihat tatapan mematikan dari Jhon. Pria itu rela dipukuli hingga mati, namun sebelum itu terjadi ia ingin terlebih dahulu bertemu dengan istri dan juga calon bayinya yang sudah dipastikan tidak akan pernah ia lihat wujudnya sampai kapanpun.
"Good. Kau akhirnya menampakkan batang hidungmu juga." Jhon tertawa sinis, menatap mencomooh kearah tubuh Justin dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Justin menengadah lalu mengangkat sebelah tangannya agar Jhon berhenti berjalan mendekat. "I don't have any energy right now. Tapi jika kau masih berambisi ingin menghajarku sampai mati ditanganmu, berikan aku kesempatan dulu untuk bertemu dengan istri dan gumpalan daging bayi-bayiku."
Jhon terkekeh. "Kau tidak berhak memberikan perintah padaku kali ini."
Justin menggeleng. Menghela nafas susah payah karena rasa pusing yang semakin tidak dapat ia tahan lagi. Justin juga sedikit menunduk, menopang berat tubuhnya pada kedua lutut. Jhon terkekeh. Menarik bahu justin hingga kembali berdiri tegap menghadap kearahnya.
"Sepupumu jago bela diri juga." Jhon menilai bentuk wajah justin hingga ringisan-ringisan kecil dari majikannya itu. Namun, lagi-lagi tidak akan ada belas kasihan untuk pria brengsek dihadapannya ini.
"Let me go." Justin mendorong tubuh Jhon menjauh, agar ia bisa kembali menunduk untuk menghilangkan rasa pusingnya.
Jhon tersentak sebentar lalu tertawa. "Kau ingin ambil simpati saja kesini kan? Kau tidak perlu bersusah payah untuk menarik perhatian semua orang, orang tuamu serta ibu selena tidak ada disini. Jadi lebih baik kau pulang."
"Diam."
"Selena sudah kehilangan bayi-bayinya sekarang, jadi kau bebas menjalani hidupmu seperti pertama kali kalian menikah. Hidup sendiri-sendiri tanpa mau saling melihat satu sama lain dan setiap hari kau sakiti. Come on, justin. I know what you did behind her."
Justin terdiam. Mendongak melihat kearah Jhon.
"She is so beautiful. You two like a romantic couple. Congrats." Jhon bertepuk tangan sarkitis membayangkan apa yang ia lihat waktu itu lalu menatap justin tajam. "Wanita itu juga dokter disini bukan? Kau cari dia untuk mengobati luka-lukamu sebelum kau mati ditanganku. Selena aman bersamaku dan sepupumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELING
Romance[27 Februari 2017, #15 in Romance] Saat dimana seorang wanita 'istimewa' menikah dengan pria sempurna.