Justin berdiri tepat di depan pintu apartment yang bertuliskan nomor 125 dihadapannya. Ia sesekali mendesah pelan karena sudah hampir 2 jam lamanya ia berdiri didepan pintu ini seperti orang bodoh. Laki-laki itu tau, wanita yang tengah ia tunggui saat ini berada didalam.
"Kathrine." Tidak mempan dengan suara bel. Kali ini Justin berdiri dicelah pintu yang dapat langsung dilihat oleh sang kekasih. "Open the door, please."
Kathrine mendesah. Justin selalu tau cara membujuknya jika ia tengah memasang aksi diam dan kecewa. Ini sudah pukul 10 malam. Dari pukul 8 tadi, pria itu sudah menunggunya disini. Untung saja, Kathrine lebih dulu siap tugas daripada kehadiran pria itu.
"We need to talk." Mendasah pelan. Kathrine berdiri dari posisinya yang duduk dibalik pintu, lalu menekan tombol untuk membukakan pintu walaupun hanya celah kecil yang didapatkan oleh Justin.
"Pulanglah, Justin."
Pria itu menggeleng tegas. "I want to explain everything. Semua yang mau kau tanyakan." Justin memasang wajah memelas, Ia yakin Kathrine tidak akan mungkin tega melihat dirinya seperti ini.
"Nope. Aku tidak butuh penjelasan apapun. Istrimu membutuhkan dirimu saat ini. Kembalilah. Kau tau aku, aku tidak bisa menjadi simpananmu karena aku tau bagaimana rasanya perasaan istrimu saat ini. Kau tau kehidupanku, Justin. Aku membenci ayahku karena ia menduakan ibuku. Dan sekarang kau ingin menjadikanku simpananmu lalu menyakiti istrimu? Sama saja aku menyakiti hati ibuku sendiri."
Justin terdiam. Mengingat kejadian pahit yang dialami sang kekasih saat hubungan mereka baru berkembang. Wanitanya datang kerumah dengan basah kuyup lalu memeluknya dan menangis terisak. Bahkan sampai waktu lebih dari 3 hari, kekasihnya itu hanya mampu terbaring di Rumah Sakit karena kondisi fisiknya yang lemah.
"Aku tau kau akan terluka karena ini. Tapi, kau harus juga mempertimbangkan hatiku. Aku mencintaimu dan begitu pula sebaliknya. Bertahun-tahun kau menghilang dan membawa serta hatiku, saat kau kembali yang aku inginkan hanya kau yang berada disisiku, kath. Kau harus memikirkan perasaanku juga."
"Lalu bagaimana istrimu?" Kali ini Kathrine membuka pintu apartmentnya dengan luas. Ia menatap nyalang kearah Justin sambil bersidekap. "Ibuku meninggal karena depresi ditinggalkan ayahku. Bahkan aku hampir gila jika saat itu kau, keluargamu dan juga sahabatku tidak ada disampingku. Aku tidak ingin mengulangi kejadian yang menyakitkan lagi, Justin. Kau harus memikirkan perasaan istrimu."
Kathrine terisak. Membayangkan kejadian yang menghancurkan keluarga harmonisnya karena wanita masa lalu sang ayah. Wanita yang menjadi cinta pertamnya bersama sang ayah. Dan kejadian itu sekarang tengah menimpanya, dimana ia yang menjadi lakon penghancur rumah tangga orang lain.
"Aku pergi untuk sementara waktu karena ingin menjadi satu-satunya dokter yang akan merawatmu nanti. Aku tau kau masih mencintaiku ketika kau tau laki-laki yang bersamaku waktu itu adalah saudara tiriku. Tapi, aku tidak pernah menyelidiki hingga separah ini. Aku pikir kau mau menungguku-"
"Aku menunggumu! Tapi, seperti yang aku katakan padamu. Kedua orang tuaku melakukan ini karena balas budi kepada keluarga istriku. Aku hanya-"
"Dan kau harus melupakanku!"
"Kau egois."
Kathrine terdiam. Menatap sayu kearah Justin. "Ya. Aku egois."
Justin menggeleng.
"Ibuku pernah berada diposisi istrimu sekarang. Dan itu sangat menyakitkan. Kau boleh membenciku, tapi maafkan aku. Itu keputusanku." Dan Kathrine langsung menatik pintu lumayan cepat hingga berbunyi nyaring ditelinga Justin.
Justin menatap sendu kearah pintu dihadapannya. Kathrine menolaknya, bahkan mereka belum bertemu lebih dari 1 bulan. Dan sekarang, untuk kali kedua rasa sakit itu menggelayut direlung hati Justin.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELING
Romance[27 Februari 2017, #15 in Romance] Saat dimana seorang wanita 'istimewa' menikah dengan pria sempurna.