"Ini cincinnya, aku tidak tahu ini pas dengan ukuranmu atau tidak, ini seukuran jari kelingkingku, katanya kalau kita memang berjodoh, seharusnya ini akan pas dijari manismu."
.
.
.
.
.
Kau berjalan menuju ke salah satu meja yang diarahkan oleh seorang pelayan coffeshop langgananmu. Pelayan itu juga membawakan segelas ice americano pesananmu diatas nampannya.
"Thanks." Ucapmu pelan pada pelanyan itu sebelum dia beranjak dari tempatmu. Kau mulai menyeruput minumanmu, berharap orang yang kau tunggu itu segera datang. Detik berikutnya minumanmu sudah tertata rapih diatas meja, kau menyangga kepalamu dengan tangan kirimu, sedangkan tangan kananmu kau gunakan untuk mengecek ponselmu. Bahkan pria yang kau tunggu itu tidak ada kabar sama sekali sejak satu jam yang lalu.
"Ck!" Kau berdecak kesal sembari memanyunkan bibirmu. Pria itu tau jelas kalau kau bukanlah tipikal orang yang suka menunggu. Kau mulai memainkan jemarimu diatas meja seolah-olah sedang memainkan piano. Jenuh, hal yang paling kau benci.
10..
20...
60 menit...
Okay, ini sudah satu jam semenjak kau menjajakan diri di dalam coffeshop ini. Bahkan kau sudah memesan segelas macchiato hangat untuk menemanimu sebagai pengganti ice americano-mu yang sudah habis sejak 10 menit yang lalu.
"Maaf aku terlambat. Ya! Apa-apaan kau hah?"
"Diam kau Wen Junhui, cepatlah duduk!"
Jun-begitu lebih tepatnya pria itu disapa, ia menarik kursi diseberangmu dan langsung menatapmu penuh amarah. Oh, ayolah, seharusnya kau yang marah bukan? Tapi kenapa malah dia yang terlihat jauh lebih murka darimu.
"Tahan dulu ocehanmu! Sekarang ini giliranku." Ujarmu yang langsung mencelanya sebelum dia mulai berbicara. Kau menarik nafasmu cukup dalam sebelum melanjutkan apa yang ingin kau katakan pada pria berkacamata dengan rambut darkbrown yang dibagian depannya sedikit memiliki jambul.
"Bisa tolong kau lihat sekarang jam berapa? Kau kemana saja? Kenapa baru datang sekarang? Ponselmu juga tidak bisa dihubungi sejak dua jam yang lalu. Kau.. ah sudahlah, aku lelah, aku mau pulang."
"Tunggu! Sekarang bukan waktunya kau untuk pulang. Duduk, dan dengarkan aku baik-baik."
Kau yang baru saja bangkit dari kursimu langsung kembali duduk. Kalau Jun sudah berbicara dengan serius, kau lebih memilih untuk mendengarkannya daripada berujung kemarahan yang tiada akhir, apalagi Jun bukanlah tipikal pria yang akan meminta maaf terus-terusan karena kesalahan yang dianggapnya sepele.
"Ini terakhir kalinya aku terlambat, maafkan aku (Y/n)-aa. Jangan salahkan aku, ini karena cincin yang kupesankan untukmu baru saja selesai saat aku ingin mengambilnya, dan untuk ponselku. Ini mati." Jelasnya sembari menunjukkan ponselnya yang memang sudah dalam keadaan mati total.
"Ada lagi Junhui-ssi?"
"Dan, kau! Kenapa kau memesan kopi sampai dua gelas? Bukankah kita sudah pernah membicarakan soal hal ini? Kau tau jelas kan kalau kafein bisa membuat asam lambungmu naik? Kalau kau sakit bagaimana?" Tanyanya yang mungkin ini salah satu kekhawatirannya, tapi sungguh, bahkan tidak tersirat sedikitpun kekhawatiran diwajahnya yang tentu saja membuatmu memutar kedua bolamatamu malas.
"Okay, aku minta maaf soal kopi, aku minta maaf karena melanggar perjanjian untuk menikmati kopi tidak lebih dari satu gelas seminggu.Tapi, kopi itu enak. Aku sungguhan." Ujarmu yang hanya dibalas dengan kegiatannya yang menyeruput habis macchiato-mu yang sudah mulai dingin itu.
"Ini cincinnya, aku tidak tahu ini pas dengan ukuranmu atau tidak, ini seukuran jari kelingkingku, katanya kalau kita memang berjodoh, seharusnya ini akan pas dijari manismu." sambungnya
Kau menatapnya tidak percaya, hari ini bukan hari ulang tahunmu, juga bukan hari anniversary kalian. Okay, kali ini Jun cukup membuatmu terkejut. Kau membuka kotak berisikan cincin pemberiannya dan langsung mencobanya di jari manismu.
"Pas." Ujarmu sembari memamerkan cincin yang tersemat dijari manismu padanya.
"Bagus, berarti kita berjodoh. (Y/n)-aa, kita harus segera menikah."
Kau terperanjak tidak percaya dengan perkataannya barusan. Jun tertawa melihat reaksimu barusan. Jun pria yang sudah hampir lima tahun belakangan ini menjadi kekasihmu, tiba-tiba saja mengajakmu untuk menikah.
"Eish, kau sedang melamarku ya? Cih, dasar tidak romantis!"
"Kita harus menikah, aku sudah mempersiapkan wedding organizernya. Oh iya, besok jam 5 sore aku jemput dikantor."
"Mau apa?"
"Fitting."
"Hah? Jun, oh ayolah, bahkan kurasa orangtuaku belum tau tentang hal ini."
"Eishhh.. (Y/n)-aa, calm down, orangtuamu sudah tau sejak dua minggu lalu. Jadi kita akan segera menikah, okay? Iloveyou, soon will be Mrs. Wen."
End.