"Bukan bodoh, dia hanya terlalu naive."
.
.
.
.
.
Senyum itu.. Aku seperti pernah melihatnya, tapi.. dimana? Ini hanya sekedar halusinasiku saja atau dia memang sedang menggodaku. Entahlah, yang aku tau, senyum itu benar-benar membuatku terhanyut dan tanpa sadar tesenyum kearahnya juga. Siapa pria itu? Aku belum pernah melihatnya sebelumnya, rambutnya yang hitam pekat, kulitnya putih pucat, matanya yang sedikit kecoklatan, serta lesung pipinya yang terbentuk cukup dalam. Oh, ayolah, tatapan matanya bahkan benar-benar hampir membuatku gila. Dia mengangkat sebelah alisnya sembari kembali memamerkan smirknya yang cukup membuatku.. melting. Aku terkekeh pelan sebelum kembali menatapnya.
"Appa!" Sebuah suara menginterupsi kegiatanku dengannya. Tatapan kami berdua sama-sama berakhir pada seorang anak perempuan kecil bersurai hitam bergelombang yang menghampirinya.
'Oh, shit! Dia sudah berkeluarga.' Umpatku dalam hati. Well, itu kemungkinan terburuk sih, bisa saja anak kecil itu hanya anak angkatnya atau memang mungkin anaknya. Pria itu menarik anak perempuannya itu keatas pangkuannya, mengecup pipi chubby anak itu untuk sesaat sebelum kembali menatap kearahku. Tatapannya kali ini lebih intens, dan ia seolah mengatakan 'Jangan salah paham dulu.' Kali ini aku yang bergantian mengangkat sebelah alisku sembari tersenyum simpul. Senyum lagi, dia tersenyum dan kali ini jauh lebih lebar dari sebelumnya. Pria itu mengambil ballpoint dari dalam tux-nya, seperti menuliskan sesuatu. Entahlah, aku tidak tau pasti. Setelah itu, dia memanggil seorang pelayan, membisikkan sesuatu tepat ditelinga pelayan itu. Pelayan itu mengangguk mengerti sebelum berjalan meninggalkannya. Dia kembali menatapku, kali ini dia memamerkan sederetan gigi putihnya itu, ia menunjuk kearah pelayan tadi dengan dagunya. Seolah aku akan menemukan jawaban atas pertanyaanku padanya.
"Nona.. Maaf, ini ada titipan dari pria yang duduk bersama anak kecil disana." Dan benar saja, pelayan itu menghampiriku, memberikanku secarik kertas.
"Thanks." Ucapku yang dibalas anggukan sebelum kepergian pelayan tadi. Jemariku masih sibuk memainkan kertas tadi sambil sesekali kembali menatap kearah pria yang berada diseberang sana.
"Hi, aku Seungcheol, jangan salah paham, ini keponakanku."
Begitu kurang lebih sapaan dari secarik kertas itu. Aku kembali menatap kearahnya. Mengangguk singkat sebelum mengisyaratkannya untuk berhenti menatapku sekarang. Ia menatapku heran, 'Kenapa aku tidak boleh melihatmu?' - Kurasa kurang lebih seperti itu tatapanya kepadaku. Aku kembali terkekeh sebelum melirik kearah seorang pria yang berada tidak jauh dari mejaku. Pria itu berjalan menuju mejaku sembari sibuk dengan ponselnya. Seungcheol mengangguk mengerti dan kembali menatap ke anak perempuan yang berada di pangkuannya.
"Sudah lama menunggu?" Tanya pria yang baru saja sampai dikursi seberangku itu, tepat dibelakangnya Seungcheol kembali menatapku dalam.
"Eh, ani-yo, aku juga baru saja sampai." Sahutku pada pria didepanku ini. Sial! Lagi-lagi tatapan Seungcheol membuatku tidak fokus. Beruntunglah pria didepanku ini tidak terlalu menghiraukan gelagatku yang sedang salah tingkah. Aku kembali mengisyaratkan Seungcheol untuk benar-benar berhenti atau semua ini akan berakibat fatal untuk kami berdua. Dan mungkin lebih fatal lagi untukku nantinya.
"Ada yang mau kau pesan lagi?" Pria bersurai sebahu yang tepat berhadapan langsung denganku ini kembali memastikan menu makan malam kami. Aku hanya tersenyum singkat lalu menggeleng pelan. Jeonghan-pria didepanku ini- ia mengangguk mantap kearahku lalu berbicara singkat kepada pelayan yang berdiri disebelahnya sebelum pelayan itu pergi meninggalkan kami berdua.
"Kau sepertinya bahagia sekali malam ini." Jeonghan memecah keheningan diantara kami berdua. Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum yang cukup merekah. Dan sesekali kembali menatap kearah Seungcheol-pria dibelakang Jeonghan- yang masih saja menatapku intens. Malam ini sepertinya dewi fortuna sedang berada disisiku. Jeonghan bahkan tidak mencurigai tatapanku sedikitpun. Jeonghan sempat menengok kearah Seungcheol, namun dia seolah tidak perduli lalu kembali menatapku. Jeonghan menarik tanganku lembut sebelum mengecupnya.
"Malam ini kau benar-benar menggodaku, (Y/n)-aa." Merinding. Jeonghan baru saja berhasil membuatku merinding dengan sentuhan dari bibirnya yang mendarat mulus diatas tanganku.
"Terimakasih." Ucapku serendah mungkin, namun masih bisa terdengar jelas olehnya.
***
Acara makan malam ku kali ini selesai. Jeonghan baru saja berpamitan pulang setelah mengantarku tepat sampai didepan pintu apartemenku. Aku melepas heelsku dan menentengnya untuk diletakkan kembali di dalam lemari penyimpanan sepatuku. Baru saja aku menutup lemari sepatuku. Bell apartemenku berbunyi. Siapa? Mungkin Jeonghan, pikirku tidak akan jauh-jauh darinya.
"Seungcheol?" Ucapku tidak percaya. Pria ini bagaimana dia bisa tau apartemenku. Okay, ini membuatku cukup merinding. Seungcheol kembali tersenyum kearahku. Kali ini dia sendiri, tidak bersama seorangpun.
"Bagaimana kau bisa tau?" Tanyaku tanpa mempersilahkannya untuk masuk terlebih dahulu.
"Tidak sulit untuk mengikutimu dengan pria berambut panjang itu." Ujarnya terdengar cukup sinis. Aku mengangguk singkat sebelum kembali melontarkan pertanyaanku padanya.
"Mau apa kemari?"
Senyum.. lagi..
****
"Terimakasih untuk semalam, Seungcheol-ssi." Jeonghan meletakkan ponselnya diatas nakas disebelahnya.
"Berhasil?" Tanya seorang pria yang duduk didepannya.
"Tentu saja. Apalagi yang mau kau ragukan dari seorang Choi Seungcheol, Josh?" Balasnya. Pria yang dipanggilnya Josh itu terkekeh pelan lalu mengambil secangkir teh yang sudah disiapkan oleh Jeonghan sedaritadi.
"Berita tentang kematian (Y/n)-ssi cepat juga menyebar luas ya. Kasihan (Y/n)-ssi, dia cantik, tapi dia bodoh."
"Bukan bodoh, dia hanya terlalu naive."
"Dia bodoh Yoon! Siapa suruh menantangku dalam project besar yang seharusnya menjadi milikku?"
"Setidaknya project itu akan kembali ketanganmu dengan segera bukan?" Pria bersurai sebahu itu berusaha menenangkan pria yang sepertinya sedang terbakar api amarah.
"Yap. Terimakasih untuk bantuanmu Yoon!"
"Terimakasih saja tidak cukup, Josh! Aku merelakan nyawa kekasihku untuk kemenanganmu."
"Kau masih menyebutnya kekasihmu setelah dia bermain api dibelakangmu?"
Jeonghan terkekeh pelan, dia merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Joshua yang sejatinya adalah sahabat baiknya.
"2..1.. Terimakasih untuk kerjasamanya Tuan Hong. Selamat tinggal, dan selamat berjumpa dengan kekasihku." Joshua menutup kedua matanya sembari memuntahkan cairan berwarna merah pekat dari dalam mulutnya itu. Jeonghan mendorong tubuh Joshua keatas sofa. sembari membersihkan kedua tangannya.
"Dasar parasit bodoh! Kau memang berhasil membunuh kekasihku. Tapi aku juga berhasil membunuhmu. Sama saja, sama-sama naive. Terimakasih untuk harta yang berlimpah, okay? Aku akan memakamkan kalian berdua dengan sewajarnya. Jadi kalian tenang saja. Tuhan memberkati kalian berdua. Ehm, dan terimakasih juga untuk darah yang menjijikan ini."
"Hey, Yoon Jeonghan! Kemampuanmu semakin hebat saja ya."
"Tapi tidak aku belum sehebatmu, Seungcheol-ssi, terimakasih sudah membantu. Upahmu akan segera kukirimkan. Senang bekerja sama denganmu."
End.