"Tidak.. Tidak ada pria lain. Hanya kau yang terbaik."
.
.
.
.
.
Kau menyandarkan tubuhmu pada ujung sofa, sekedar beristirahat setelah selesai makan malam. Kau menatap pria yang sedaritadi asik bermain dengan anjingmu, ah maksudku anjing kalian, pongpong.
"Kenapa menatapku begitu? Kau.. pasti ingin menanyakan kapan aku akan pergi dari sini kan?"
Kau hanya mengangguk ringan sebagai jawaban dari pertanyaannya dan kembali tersenyum manis. Menahan bulir-bulir airmata yang sudah menggenangi kedua kelopak matamu agar tidak tumpah dari penampungannya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri, bukankah aku sudah berjanji untuk hal itu. Kalau kau mau menikah dengan pria lain, silahkan (Y/n)-aa, aku tidak akan melarangmu. Tapi, aku akan ikut denganmu dan suamimu."
"Aku tidak sendiri, Won. Ada pongpong."
"Pokoknya tidak."
Kau kembali menghela nafasmu kasar lalu menuju ke dapur sekedar menghilangkan dahagamu. Berdebat dengan Wonwoo hanya membuang-buang energimu saja. Tidak ada artinya berdebat dengannya, toh pada akhirnya kau selalu menyerah dan menuruti apa yang ia mau.
"Pong-aa, come here!" Panggilmu ketika melihat anjing besar berjeniskan alaskan malamute yang usianya sudah tiga tahun setengah itu masuk kedapur bersamaan dengan pria yang tidak lain adalah Jeon Wonwoo.
"(Y/n)-aa..."
"Apalagi, Won?"
"Apa pria itu jauh lebih menarik daripadaku?"
"Tidak.. Tidak ada pria lain. Hanya kau yang terbaik."
"Lalu kenapa kau memintaku untuk pergi?"
"Sudahlah, ini sudah malam, aku mau tidur, kau mau ikut tidak?"
Dalam sepersekian detik Wonwoo mengangguk semangat lalu mengikutimu dari belakang sampai akhirnya kau membaringkan tubuhmu tepat diatas tempat tidurmu, dan mempersilahkan Wonwoo untuk berbaring disisi sebelahnya.
"Boleh aku...."
Belum selesai dia berbicara kau membungkam bibirnya dengan bibirmu lalu menyelipkan kepalamu pada dada bidangnya dan berusaha untuk tertidur.
"Goodnight sweetheart." Bisiknya tepat ditelingamu.
***
Kau mengerjap-ngerjapkan kedua matamu saat merasakan sinar matahari memasukki celah kelopak matamu.
"Wonwoo-aa.. Won..."
"Aku disini, sayang. Ada apa?" Tanyanya yang entah muncul darimana itu.
"Kukira kau sudah pergi.." Sahutmu yang sontak membuat Wonwoo kembali murung. Kau mengelus puncak kepalanya singkat sebelum memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurmu.
Kau memutuskan untuk menikmati secangkir espresso kesukaanmu yang sudah disiapkan oleh Wonwoo, sambil menghirup udara segar pagi hari, kebetulan hari ini adalah hari minggu, jadi kau bisa bermalas-malasan seharian penuh tanpa perlu memikirkan pekerjaanmu.
"Enak?"
"As always, Won, buatanmu tidak pernah ada yang bisa menandingi."
Dia mengecup puncak kepalamu singkat sebelum mengelusnya lembut dan duduk disebelahmu.
"Ini kenapa aku tidak mau meninggalkanmu..."
Dia menghela nafasnya perlahan sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku takut kalau nantinya aku tidak lagi menjadi orang pertama yang kau panggil ketika kau baru bangun tidur, aku juga takut kalau kau tidak lagi bisa menikmati espresso buatanku, aku takut kalau tidak ada lagi yang memberikanmu morning kiss, tidak ada yang menemanimu berbicara dipagi hari sepertiku, tidak ada yang menemanimu ketika kau sedih, marah, bahagia, tidak ada yang menjadi teman tidurmu. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Siapa yang akan memelukmu ditengah hujan badai kalau aku pergi? Siapa yang akan menceritakan kisah novel yang tebalnya ratusan halaman padamu setiap malam akhir pekan?"
"Aku akan membacanya sendiri.."
"Aku tau kau tidak suka membaca."
"Tapi aku akan suka membaca kalau kau sudah benar-benar pergi dari sini."
Butiran bening membasahi kedua sisi pipimu. Wonwoo berlutut didepanmu, menyeka airmatamu dengan kedua tangannya.
"Dan yang terakhir.. siapa yang akan menyeka airmatamu ketika kau sedang menangis?"
"Aku bisa sendiri, Won. Lagipula ada pongpong yang menemaniku. Kumohon pergilah."
"Aku suamimu, bagaimanapun juga aku masih punya hak untuk tetap tinggal disini." Bentaknya yang cukup membuatmu semakin sedih.
"Tapi ini sudah bukan lagi duniamu, Won. Aku memang tidak bisa melakukan semua itu sendirian. Tapi, aku juga tidak bisa melihatmu menjadi arwah penasaran yang selalu menemaniku karena kau terlalu takut untuk meninggalkanku sendiri. Awalnya aku memang terpukul atas kepergianmu. Bagaimana tidak, kita baru menikah selama 2 bulan, dan kau pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya karena kecelakaan. Bodohnya aku adalah tidak merelakanmu pergi waktu itu. Tapi, Won.. Ini sudah tahun ketiga semenjak kematianmu..."
Kau memberi sedikit jeda untuk menarik nafasmu, lalu kembali melanjutkan kalimatmu.
"Aku akan sangat bahagia kalau melihatmu sudah tenang disana. Tidak seperti sekarang ini."
Wonwoo mengecup bibirmu singkat lalu memelukmu erat, erat sekali. Bahkan kali ini airmatamu mengalir semakin deras. Mungkin ini akan jadi yang terakhir, dan juga yang terbaik.
"Selamat tinggal, Jeon Wonwoo." Bisikmu tepat ditelinganya sebelum tubuhnya hilang, hilang terbawa angin.
End.