Semesta

726 81 13
                                    

Aku sebenarnya tidak ingin terjatuh,
pun untuk sekadar tersandung.
Tersandung apa? Gravitasi yang kaupunya.

Aku sebenarnya menolak untuk tertarik,
pun sekadar untuk melirik.
Melirik apa? Melirik dirimu, apalagi bila sedang bersamanya.

Aku sebenarnya enggan untuk mendekat,
Bahkan aku sudah memberi sekat.
Sekat apa? Sekat yang memang harus ada di antara aku dan kamu, kita.

Namun, bisa apa aku ketika semesta sudah melakukan sesuatu di luar kehendakku?
Ketika dia dengan kurang ajarnya membuatku mengenalmu lewat cara yang tidak pernah terpikir olehku.
Ketika dia dengan seenaknya memunculkan sosokmu di hadapanku, tepat saat aku membutuhkan tempat untuk berkeluh-kesah.
Ketika dia dengan mudahnya membuat kamu selalu ada untukku; padahal seharusnya tidak begitu.

Namun, bisa apa aku ketika semesta sudah melakukan sesuatu di luar kuasaku?
Ketika dia, dengan teganya, melukai perasaan yang sudah aku lindungi mati-matian ini;
hanya dengan membuatku mengetahui kalau kamu sudah punya tempat berteduh, jauh sebelum kamu menjadi tempat berteduhku.

Ah, mengapa semesta bisa seenaknya saja membuatku senang di detik pertama; kemudian membuatku sakit di detik berikutnya?

Mengapa semesta membuatku menganggapnya sebagai rumah, ketika dia bahkan sudah memiliki penghuni lain di dalamnya?

Detik setelah aku bertanya demikian, aku tertawa karena semesta seakan menjawab pertanyaanku dengan:

Mengapa ini salahku? Bukankah aku sudah memberikan pilihan padamu untuk tidak terjatuh?

Lalu tawa itu berubah jadi tangisan nelangsa.

Iya, ya, mengapa?

Tertanda, Ara.
2015, saat kamu masih (tetap) jadi rumah milik orang lain.

SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang