Kamu Bumi,
Karena kamu tak pernah mau tinggi hati.
Kamu Bumi,
Karena kamu menolak untuk menyombongkan diri.
Kamu Bumi,
Karena dirimu terinjak-injak hampir setiap hari.
Kamu Bumi,
Karena kamu sangat berarti bagi umat pribumi.
Aku Awan,
Yang tak pernah bisa melawan.
Aku Awan,
Yang selalu lebih mementingkan kawan.
Aku Awan,
Yang tidak suka bila dipandang penuh rasa kasihan.
Yang Awan,
Yang kalau merasakan rindu akan menjadi sendu kemudian.
Dia Langit,
Keindahannya selalu terasa menggigit.
Dia Langit,
Cantiknya membuatmu ingin segera bangkit.
Dia Langit,
Hatinya itu yang benar-benar membuat kalian terkait.
Dia Langit,
Sifatnya manis, tidak pahit.
.
.
Mereka selalu mengaitkan Bumi dan Langit; bahwa perbandingan kebaikan dan keburukan itu bagaikan Bumi dan Langit, bahwa tingkat kebaikan orang yang satu dengan lainnya diibaratkan sebagai Bumi dan Langit.Bumi dan Langit jauh, tetapi tetap berkaitan.
Tidak seperti Awan dan Bumi. Mereka dekat, bahkan cenderung menempel, tetapi tidak ada orang yang pernah menyebutkan Awan dan Bumi di dalam satu kalimat. Kecuali kalimat ini. Tetapi Bumi butuh Awan, untuk berteduh dari sinar matahari yang menyilaukan.
Awan dekat dengan Bumi, tetapi mereka tidak terikat.
Kalian sadar akan ironinya?
Sedekat apapun Awan dengan Bumi, ketika angin berembus, maka Awan akan lenyap.
Sejauh apapun Langit dengan Bumi, ketika Awan menghilang, maka mereka akan kembali dipertemukan.
Lantas...,
sebutuh apapun Bumi pada Awan, ketika sinar matahari lenyap, maka dia akan mengharapkan angin untuk datang dan membawa Sang Awan; supaya dia bisa bertatap muka kembali dengan Langit-nya.(Tak apa, Awan akan tetap bahagia ketika Bumi-nya bahagia.
Sekalipun Awan harus menyaksikan sendiri bagaimana senyum Bumi selalu berkembang ketika Langit berada di hadapannya.)
Tertanda, Ara.
8 Desember 2015, saat kamu masih saja bersama Langit-mu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine
PoesiaKetika di sana semua yang kamu gambarkan itu tentang dia, di sini yang kutulis selalu tentang kamu - ironis, ya?