.
.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
mungkin kamu akan selalu melihat kesibukan orang-orang yang ada di sekitarmu. Kamu akan menoleh ke sana-kemari untuk mengamati gerak-gerik yang mereka tunjukan setiap mereka berinteraksi dengan kawan sebayanya; bagaimana bibir mereka bergerak kemudian mengeluarkan tawa yang belum tentu tulus adanya.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
mungkin kamu akan jengah melihat banyaknya mobil dan sepeda motor yang selalu berjalan di atasmu. Kamu akan mencaci maki mereka yang menggunakan mobil tetapi sendirian saja, menimbulkan sebuah kemacetan yang rasa-rasanya merugikan banyak orang. Lalu kamu juga akan mengeluarkan protes kepada para pengguna sepeda motor yang dengan cueknya mengambil hak pejalan kaki dengan melintas di atas trotoar untuk menghindari kemacetan itu.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
Mungkin kamu akan merasa bersalah pada mereka yang datang kepadamu dengan harapan dapat memperbaiki hidup. Karena pada kenyataannya yang mereka rasakan tidak lebih dari sebuah kesengsaraan. Tidur di jalanan, meminta-minta di pinggir jalan, keinginan bersekolah pun hanya jadi khayalan.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
Mungkin kamu akan berteriak pada tangan-tangan yang dengan enaknya merusak dirimu. Kepada mereka yang selalu membuang sampah ke sungai-sungaimu menebang pepohonan yang membuat kamu terlihat indah, aku tahu kamu pasti sangat marah.
Tapi apa kamu tahu, Jakarta?
Setiap hal yang memiliki sisi buruk, pasti tetap mempunyai nilai baik.
Pun begitu dengan kamu.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
Mungkin kamu akan jadi sejarawan paling ahli di Negeri ini. Kamulah yang paling tahu bagaimana perkembangan dirimu sendiri, bagaimana perjuangan para pahlawan yang mengusir koloni, bagaimana rakyat di zaman dahulu jauh lebih peduli, bagaimana cerita lengkap yang menjadikan kamu seperti ini.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
Mungkin kamu adalah sosok manusia yang paling bisa mengerti manusia lainnya. Kamu mengerti bagaimana orang-orang berada juga memiliki sebuah masalah dalam hidup mereka, yang membuat mereka harus tertawa sekenanya saja. Kamu mengerti bagaimana orang-orang rantau berjuang hidup setiap harinya, apa yang harus mereka lakukan hanya untuk bisa mengganjal perut mereka.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
Mungkin kamu adalah sosok pendengar yang baik. Karena setiap harinya kamu mendengar keluh-kesah seorang siswa tentang tugas sekolahnya, atau bahkan soal tambatan hatinya. Karena setiap harinya, kamu menyimak bagaimana orang-orang saling menyayangi di sudut-sudut wilayahmu; bersenda gurau, tertawa dan bercerita tanpa habisnya. Karena setiap hari kamu menangkap keresahan orang-orang di sekelilingmu, entah lewat omongan ataupun tingkah laku mereka.
Jakarta, seandainya kamu itu manusia...,
Mungkin kamu itu sosoknya.
Dia yang juga selalu merusak dirinya sendiri dengan berbatang-batang rokok yang harganya sudah melambung itu; sama seperti kamu yang rusak karena sampah-sampah dalam sungaimu, Jakarta.
Dia yang selalu jadi ribut sendiri saat tahu aku sedang menyimpan sebuah masalah sendirian, dan memaksaku untuk menceritakannya; sama seperti kamu yang selalu mendengar keluh-kesah semua orang dari berbagai kalangan, Jakarta.
Manusia yang nantinya akan menjadi berisik ketika aku benar-benar ada dihadapannya; sama seperti kamu yang tidak pernah mati dan selalu dipenuhi hiruk pikuk penduduk, Jakarta.
Dia yang rela tetap terjaga hanya untuk menemani diriku mengerjakan kewajibanku sebagai seorang mahasiswa; layaknya kamu yang selalu menemani para perantau yang berjuang setiap harinya, Jakarta.
Seseorang yang akan menasihatiku ketika aku mulai tidak menjaga pola makanku; sama seperti kamu yang akan menegur para pembuang sampah sembarangan melalui sebuah bencana bernama banjir, Jakarta.
Dari sekian banyak kota yang jauh lebih indah darimu, Jakarta, aku malah jatuh hati pada kamu.
Sama seperti aku kepada dia—meskipun banyak yang lebih dari dia, aku hanya jatuh pada pesonanya.
Iya, Jakarta,
seandainya kamu itu manusia, kamulah yang membuat aku jatuh cinta seperti sosoknya.
Tertanda, Ara.
1 Oktober 2015.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine
ŞiirKetika di sana semua yang kamu gambarkan itu tentang dia, di sini yang kutulis selalu tentang kamu - ironis, ya?