Dirga

4.4K 298 32
                                    

/F/

Pertama kali saya bertemu dengan Dirga, mungkin sepuluh tahun atau seratus tahun lalu? Tidak ada yang pasti, kecuali mungkin fakta bahwa kami saling memiliki dan membutuhkan, sebagai teman.

Dirga selalu hadir di setiap momen kehidupan saya, sementara dia... yah, beberapa hal inti dan yang paling terang dia bagi bersama orang lain. Kekasihnya.

Mungkin terasa tidak adil, bagaimana saya memberikan hati saya merah utuh sementara Dirga hanya menyediakan ruang sisa untuk saya. Tapi saya bisa bersyukur, karena ruangan saya tetap terjaga walaupun kamar utama sudah berganti pemilik setiap musim berlalu.

Aura, Joan, Ismi, Elena.

Tapi Febri dan kamar sisa di pojok terdalam tidak pernah terganti. Istimewa dengan cara saya sendiri, tapi di waktu yang sama, saya tidak lebih berarti dari kucing kampung yang selalu datang saat kami makan siang di kantin.

Sejak kapan saya jatuh hati pada Dirga? Sama sulitnya untuk dijawab. Tergantung perspektif mana yang ingin kamu ambil. Saya bisa saja selalu mencintai Dirga, atau mulai mencintai Dirga sejak beberapa waktu lalu. Konsep ruang dan waktu tidak pernah bersandingan serasi dengan kami.

Kami berjumpa lagi setelah beberapa bulan berpisah, untuk pertama kalinya sejak kami bertemu. Tentu saja saya tidak pernah selalu berada di sisi Dirga seperti sepasang telinganya, tidak, saya adalah gelang kayu yang nyaris tidak pernah ia lepas dari lengan kanannya. Pernah gelang itu terselip lalu hilang dan kami, baik Dirga yang memakai, maupun kami yang biasa melihat Dirga selalu mengenakan gelang tersebut merasa aneh. Tidak seaneh saat kau melihat orang tanpa dua daun telinga, kau tahu ada sesuatu yang kurang, tapi tak cukup signifikan untuk membuatmu merasa tidak nyaman.

Saya ingat jelas bagaimana wajah Dirga ketika akhirnya gelang itu ketemu. Rasa lega terbayang jelas di wajahnya, tapi cukup hanya itu, tanpa ada ekspresi lain yang bercampur. Dan wajah yang sama saya dapatkan saat Dirga tersenyum, melambaikan tangan sambil keluar dari pintu stasiun kereta pada saya yang menunggu sambil jongkok di depan parkiran motor. Saya balas tersenyum rindu, tapi rasanya tidak pernah tersampaikan.

Saya segera berdiri dan berlari kecil melewati lokomotif tua yang ada di tengah halaman stasiun, menyongsong Dirga yang menenteng koper dan mengambil alih kemudi rodanya ketika saya sudah dekat. Tangannya yang besar, hangat dan kasar karena terlalu banyak mengayun bat dan melempar bola mengucel rambut saya lalu menepuk-nepuk ubun-ubun saya, sayang, seperti abang pada adiknya.

"Makan dulu, Bang, laper gue."

"Mi ayam bakso deket jalan tol enak."

"Sip."

Dan melajulah kami, koper di masukkan taksi beserta beberapa kardus yang sudah dipasrahkan pada supir, sementara saya duduk di boncengan motor matic bersama Dirga. Sepanjang perjalanan saya rela menyakiti leher sementara Dirga dengan antusias menceritakan pengalamannya kerja praktek di luar kota. Tentang petualangannya menjelajah sudut kota asing dan tentang Ulfa. Kamar utama berganti pemilik lagi, dan saya cuma bisa melihat dari bilik sempit di pojok terdalam.

Saya sendiri saat ini sedang bersama dengan seseorang yang sudah saya kenal cukup lama. Teman sebangku jaman SMA dulu. Orang yang sama sekali tidak pernah terbayangkan untuk saya sebut 'pacar'. Karena kedekatan kami sudah melewati tahap pertemanan biasa dan ikatan kami bertautan di segala sisi. Sahabat, teman baik adik saya, orang yang tahu betul hubungan saya dengan Dirga.

Jangan salah, saya cinta pada Brian, saya benar-benar tulus menyayangi Brian, tapi kamar terbesar kedua di hati saya selalu terisi Dirga. Brian dan Dirga bersandingan, tak ada yang lebih satu daripada yang lain. Egois? Memang. Tapi apakah semudah itu menghakimi hati yang bekerja berlawanan arah dengan logika?

"Baik, gak, Bang? Ada rencana mau dikenalin ke kita, live gitu? Atau pakai skype juga bisa kaya telekonferens, sekalian dia pake mikrofon biar kaya kuliah gue di kelas." Dirga tertawa, lalu melirik saya dari spion.

"Bulan depan mau ke sini dia."

Saya mengangguk.

"Eh, Bang. Gue baru inget jam 4 nanti janjian sama Brian, mau ikut manggung di pensi SMA 2."

"Alaaah, gue masih kangen padahal."

"Ya udah, ikut deh ke SMA 2." Dirga tertawa lalu menggeleng.

"Daripada gue digebuk bass."

Ada sesuatu yang mengganjal saat Dirga turun, menyerahkan helm hitam pada saya di depan kos-kosan yang ia tempati sejak pertama kali kuliah di kota ini. Saya tidak tahu apa namanya, yang pasti sesuatu ini adalah hal yang berbeda dari apa yang ada dibalik senyuman Dirga waktu menepuk pelan helm saya. Hening yang berjalan beberapa saat penuh dengan kata-kata yang tidak pernah terungkap, ujung lidah kami sama-sama gatal tapi tidak ada yang mau mengucap. Ya sudahlah, mungkin lain kali. Saya melirik langit yang mulai menghitam, "Bentar lagi hujan. Bawa jas hujan, kan, lo?"

Saya mengangguk. Dirga mengangguk. Tapi apa yang kami sepakati?

"Salam buat Brian."

"Iya wa'alaikum salam." Saya belokkan motor saya, dan Dirga masih berdiri melambai sampai bayangannya hilang di balik tikungan.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang