one way trip 2

582 73 14
                                    

/F/

Jogjakarta.

Setiap hurufnya mewakili guratan kenangan yang tertoreh dalam langkah-langkah kami menyusuri setapak Malioboro. Berburu senyuman dan mengais perih.

Saya selalu punya firasat kalau Jogja punya andil dalam hidup. Kamu tahu, kan? Rasa tidak nyaman dari dentuman jantung tiap namanya disebut. Lebih intens dari jatuh cinta karena takdir membalik emosi lebih gila dan tanpa ampun. 

Dirga bangkit dari kursi, tidak menyadari kalau saya tidak lagi terlelap mimpi. Aroma kretek yang ada di sakunya makin menguat ketika ia mendekat dan tanpa saya duga tangannya membelai rambut saya, meninggalkan satu kecupan disana, lalu pergi. Punggungnya yang sempat saya tangkap sebelum menghilang dibalik tirai, terlipat sedih.

Untuk pertama kalinya saya benar-benar menatap mata Dirga di Jogja, ada luka disana. 

Entah.

Mungkin atmosfer Jogja mengangkat prasangka? Dan jujur, untuk sesaat saya goyah. Di titik itu saya menyadari perasaan Dirga dan 5 tahun penantian nyaris membuat saya berbalik lari padanya. Dari caranya melihat saya, dari sikapnya, dari kelemahan-kelemahan yang akhirnya menjadi masuk akal ketika saya mengerti dan semuanya serba terlambat. Semuanya sudah kedaluarsa, kesempatan untuk kami sudah hilang sedari lama. Tapi hati saya tetap hancur untuk apa yang mungkin bisa kami miliki. Kemungkinan yang terlalu indah bahkan bila hanya bertajuk dongeng.

Atas rekomendasi Bule (yang dia dapat dari Hani) sore itu kami berombongan menuju alun-alun kidul. Saya yang tadinya sudah pede dengan seragam kebesaran saya (jins butut selutut, kemeja kotak-kotak kebesaran mungkin punya Bayu, kaos hadiah minuman serbuk rasa buah dan sandal jepit) langsung buru-buru balik kanan untuk bersalin, hanya karena satu pesan yang cukup membuat saya terguncang.

Sofi, nduk, bisa mampir ke rumah Budhe Yus?

-mama.

Jogjakarta. Saya khawatir bumimu akan mengingatkan saya pada sesal, tapi beruntung penghuninya seperti tidak rela membiarkanku berkubang pada sesuatu yang sudah lalu. Atau alam sudah berkonspirasi untuk menjejakkan kaki saya agar kuat tertanam di atas dermaga kepunyaan salah satu putranya.

Saya sengaja minta diantar Dyo dan Annisa, tanpa memberi tahu mereka kalau saya sedang membawa mereka untuk menjadi tameng saya di hadapan keluarga Roy. Oke, mungkin saya cuma tidak memberi tahu Dyo, karena saya tahu pasti reaksi dia kalau saya ngomong blak-blakan, meminta dia untuk jadi teman menghadapi calon mertua, atau hampir calon mertua? Bagaimana, sih, kamu menyebut istilah kakak perempuan dari Mama laki-laki yang baru kamu kencani selama 5 bulan? 

Dyo yang jarang mau kebagian repot, apalagi untuk saya yang bukan siapa-siapa (re: bukan perempuan yang selalu dia sebut namanya dengan suara dan intonasi paling lembut yang dipunyai Dyo Haqiqi, "Annisa") pasti langsung menolak, dan saya yang sudah duluan keki mungkin bakal mati berdiri di depan gerbang rumah joglo kuno keluarga Roy. Annisa, di lain pihak, ikut gemetar untuk saya dan dress biru selutut yang dia pinjamkan, berharap-harap cemas Budhe Yus tidak bisa mendeteksi kalau Sofi yang berdiri grogi di depan pintu rumahnya adalah Sofi jadi-jadian. Sofi yang sungguhan teronggok di sudut kamar home-stay berkumpul dengan kaos-kaos partai yang sudah pudar warnanya.

Begitu pintu di buka, seorang perempuan paruh baya, cantik, rambutnya digelung rapih sempat membuat saya ngilu memikirkan betapa ketatnya tiap helaian hitam berkilau indah itu terikat. Tapi senyum dan keluwesan gerak tubuh yang seperti ditarikan lincahnya mengindikasikan lain, perempuan ini sedang berada dalam zona nyaman kebiasaannya, bertolak belakang dengan saya yang merasa kaku walaupun kain yang saya kenakan berriak diterpa angin sepoi-sepoi.

"Sofi, ya?" Senyum perempuan itu makin lebar, mengingatkan saya pada Jesse. "Pacarnya Oyi'? Ini Budhenya Oyi', ibunya Jesse. Kamu kenal juga sama Jesse, tho? Budhe sering dengar cerita kamu dari Jesse. Masuk dulu, Sof."

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang