Febri

2.2K 219 27
                                    

/D/

Sejak kapan saya jatuh hati pada Febri? Saya tidak tahu pasti, mungkin sejak saya tahu kalau Febri suka sama saya, atau mungkin lebih lama dari itu. Yang pasti, Febri selalu mengisi sebagian besar hati dan hari saya sejak saya menerima kenyataan bahwa Dirgantara yang ini, suka pada sahabatnya sendiri.

Saya suka, cinta pada Febri. Tapi kami tidak akan pernah saling memiliki. Kenapa?

Karena kami seperti langit dan bumi. Jarak kami demikian jauh, dan hubungan kami akan runtuh jika salah satu dari kami memutuskan untuk maju dan mengubah takdir. Karena kami saling membutuhkan sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar pasangan biasa, seperti bumi menopang langit dan langit memayungi bumi. Bisa kamu bayangkan apa yang terjadi kalau langit tiba-tiba memutuskan untuk turun memeluk bumi?

Sejujurnya, hati saya sakit tiap kali Febri melihat saya dengan mata mendamba. Saya ingin lari dan memeluknya erat, berkata bahwa saya membalas hatinya! Saya ingin merobek, merusak benang merahnya dengan Brian, dengan Adip, dengan siapapun yang akan lewat setelahnya! Saya ingin dengan lantang berkata bahwa perempuan ini milik saya!

Tapi tidak bisa.

Karena saya lebih egois dari itu. Karena saya tahu jika saya nekad melakukan itu, masa depan yang saya punyai hanya kehilangan.

Saya baru sadar kalau saya merindukan Febri dalam konteks 'itu' adalah saat Adip datang. Adip adalah badai yang menggetarkan laut yang tadinya tenang. Membuat gejolak di langit dan di bumi dengan tekad merusak apa yang ada di dalamnya.

"Gue... semalam, dicium sama Adip. Di bibir." Sontak emosi saya meluap, saya pikir awalnya hanya rasa protektif kakak pada adiknya. Gelar yang serta merta saya sematkan tanpa peduli perasaan pihak kedua. Tapi melihat rona wajah Febri yang begitu merah, bergejolak karena bahagia yang terlampau banyak, saya marah. Amarah yang membakar saya dari dalam bukan ditujukan pada orang lain selain diri saya sendiri. Dan pemantik kecil di otak saya mengetuk. Saya jatuh cinta pada Febri.

Dan saya sudah terlambat.

Adip adalah sepupu Hans dari pihak Ayahnya, tinggal di Buleleng, dan pertemuannya dengan Febri bisa dihitung dengan jari sebelum kejadian cium bibir itu terjadi.

Awalnya saya curiga Adip hanya memanfaatkan Febri sebagai pelarian, karena saya tahu Adip baru saja putus dengan pacar (yang kata Hans nyaris identik dengan Febri).

Ternyata saya salah.

Adip benar-benar jatuh pada Febri, dan begitu pula sebaliknya. Dalam waktu yang begitu singkat. Kalau kata Dyo, merupakan hasil proyeksi narsisme dari dua belah pihak, karena memang mereka begitu sama satu dengan yang lain. Kadang daripada pacar, mereka lebih pantas disebut kembar.

Hubungan mereka terus bagus, berjalan dengan baik sampai beberapa bulan lalu, Febri datang ke kosan saya dengan baju yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dress selutut bermotif bunga biru pastel di atas dasar putih gading, pulasan make up tipis hadir di wajahnya dan tidak seperti biasa, rambut hitam panjangnya di urai hingga pinggang dan dilengkapi sepasang kepang yang terjalin hingga menyatu di tengah. Untuk sesaat nafas saya tidak mau keluar.

Cantik.

Tidak pernah saya melihat Febri begitu cantik. Dia hanya duduk diam di atas ranjang kamar setelah saya persilahkan masuk, meneteskan cairan ke matanya dan menjelaskan absennya kacamata dengan "Soft lens."

Saya cuma bisa mengangguk bodoh. Lalu mengikuti duduk di sampingnya.

Febri mengambil tangan saya, menggenggamnya untuk beberapa saat lalu menatap saya lekat. Untuk sesaat saya terpikir untuk mengangkat ego saya, melemparkannya ke luar jendela bersama dengan akal sehat. Lalu mencium bibir yang dipulas merah itu. Seperti apa yang saya inginkan saat ini, dan yang Febri inginkan. Tapi saya memilih untuk membuang muka.

Dari sudut mata saya bisa melihat Febri menunduk. Kecewa. Senyumnya menjadi kecut.

"Ini kerjaan Adip." Dia berkata pendek. Masih dengan senyuman. "Hadiah kita putus."

Saya menelan ludah. Tidak tahu mau berkata apa, terlalu banyak yang ingin saya katakan, terlalu berat konsekuensinya. Saya mengunci rapat bibir saya dan membiarkan gadis di hadapan saya sakit hati, sekali lagi.

Hadiah putus. Apapun itu maksudnya, pasti diberikan oleh Adip dengan saya sebagai sasaran. Tapi saya memilih untuk menutup mata.

Waktu berdetik untuk beberapa saat sebelum Febri mulai meneteskan air mata.

Karena saya.

Saya tahu pasti itu, karena pada akhirnya saya rengkuh dia sebagai permintaan maaf.

Maaf kamu sudah mencintai orang brengsek, egois seperti Dirgantara ini.

Maaf.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang