Do I Love You Too Much?

992 92 38
                                    

/D/

Dia segera pergi begitu percakapan jarak jauh itu usai. Tanpa pamit dan pesan tertinggal untuk saya, bahkan lewat perantara pun tidak, nama saya sudah betul-betul tercoret dari daftar prioritas.

Dia memutuskan untuk kembali dan menjahit sambungan yang sempat koyak, oleh kesalahpahaman fatal. Pesimisme saya tidak membantu apapun, tidak melakukan apapun dan lewatlah lagi sesuatu yang tipis itu, sesuatu yang mereka panggil kesempatan.

Kami semakin jauh, rindu semakin tak terperi dan serangkaian bisik pada malam sepi yang bisa saya utarakan. Kepada siapapun kecuali untuk dia. Karena dia menutup hatinya. Karena saya yang menendang kuncinya entah kemana.

Saya memasuki halaman kos Mamih terburu-buru. Tidak sampai mata saya melihat motor matic hitam terparkir sedikit tertutup badan mobil Dyo. Saya biasa langsung putar badan dan minggat kemana pun tiap saya melihat motor itu, matic hitam Febri. Tapi hari ini saya terburu-buru dan tanpa sempat menutupi keterkejutan saya, perempuan itu tertidur di celah sofa dan meja tamu, berbantalkan lengannya sendiri dikelilingi buku-buku dan kertas-kertas penuh coretan pensil. Di ujung meja, Bule sedang mengetikkan sesuatu sambil mengangguk-angguk pada apapun yang dia dengarkan lewat earphone yang tersumpal di telinga. Sesaat saya kaku, kemudian tertegun. Gelombang hangat yang tidak bisa saya jelaskan darimana asalnya tiba-tiba menerpa saya.

Nyaris bersamaan telepon berdering kencang membuat kami semua terlonjak, Febri dari tidurnya, Bule dari konsentrasinya dan saya tertangkap basah mengintai kenangan lama.

"Haloh?! Iya ini aku melek. Iya, sumpah! Nggak ketiduran! Inget dong janjian sama kamu, haha...haha... setengah jam lagi ya? Aku masih nugas sama Bule? Iyaaaa, iya sayang iya... yaelah iyaaaaa! Ya udah cepet ditutup! Hm..."

Dan nyaris sistematis pula kami bertukar pandang, Febri pada Bule, Bule pada saya, dan mata saya masih terpaku pada bagian belakang kepala Febri yang penuh rambut kusut, yang dulu jatuh sampai pinggang sekarang tinggal sebahu. Raut wajahnya lelah seperti biasa tapi saya bisa melihat sapuan tipis make up yang sepertinya jadi kebiasaan baru. Gelombang hangat datang lagi tapi langsung tersiram habis oleh suasana rikuh yang dihadirkan lewat pandangan mata Bule.

"Eh... Gun." Saya mengangguk kaku pada sapaan Bule, ingin buru-buru pergi tapi keduluan suara Febri.

"Eh ada Abang?"

Sapaan ringan itu menusuk dalam. Sebelum saya balas Febri menoleh lagi pada Bule.

"Le, gue duluan ya? Ditunggu di studio guenya. Mau nonton hehe."

Bule melirik saya, seakan-akan ingin meminta pendapat. Tapi punya hak apa saya?

"Er.. i...iya.. deh. Tinggal analisa produk pembanding doang kan? Bagian gue? Nanti malam gue e-mail."

"Ok. Suksma ya, Le. Besok ketemu langsung di perpus."

Febri mengemasi barang-barangnya dengan gerakan praktis, menjejalkan laptop ke dalam ransel hitamnya dan menumpuk buku-buku dengan label perpustakaan kampus di ujung meja dekat Bule. Lekas dia berdiri lalu mengacak rambut Bule yang mulai kepanjangan lalu pergi begitu saja. Melewati saya seperti angin, tanpa pertanda bahwa keberadaan saya di akui.

Mungkin Febri tahu saya sengaja menghindar, mungkin dia juga memutuskan hal yang sama sebagai balasan. Saya tidak tahu alasan pastinya, walaupun ego saya ingin percaya bahwa itu adalah cara Febri untuk mencegah luka kami bertambah dalam. Tentu saja pikiran semacam itu cuma bagian penghiburan sia-sia dari saya yang pengecut. Saya yang berharap dan saya yang tidak akan pernah siap.

Di dalam pekatnya kopi terpantul wajah saya sendiri. Merenungkan sedalam apa sebetulnya perasaan saya?

Patah hati bukan sesuatu yang baru untuk saya. Tapi tidak pernah ada yang sesakit ini, sepahit ini. Patah hati biasa saya asosiasikan dengan seribu rawit yang saya telan dalam satu helaan nafas. Panas, meledak dalam diri, satu letupan emosi kuat yang langsung lebur oleh satu tegukan air. Dan seperti yang kalian duga, Febri adalah air yang melegakan saya.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang