-

770 75 29
                                    

/N/

"Pak Dirga," Dirgantara menoleh, melupakan sejenak pemandangan di luar jendela kantor yang selalu membiusnya. Di ambang pintu seorang gadis muda tersenyum gugup, dalam dekapannya sebuah map plastik berwarna merah. Dirgantara membalas senyum itu, "Masuk, La."

Gadis itu mengangguk, berjalan masuk dan meletakkan map di hadapan Dirga.

"Oke, makasih, La. Nanti saya panggil kamu kalau udah saya cek."

"Oke, Pak." Jawab Lala pelan, nyaris berbisik. Gerak tubuhnya sudah hendak buru-buru pergi tapi ada sesuatu yang menahan, sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. Dirgantara tahu benar apa hal yang membuat Lala gelisah, tapi pria itu hanya menunggu.

"Ada yang ketinggalan, La?"

"Mm... itu, Pak. Soal kemarin...." gadis itu memulai pelan, rona merah mulai muncul di pipinya. "Kayanya saya terlalu lancang. Maaf, Pak."

Dirgantara mengangguk, senyum pengertian dan geli muncul di sudut-sudut bibirnya yang selalu tergelung lucu.

"It's ok." Katanya menenangkan, "asal gak kamu cerita-cerita ke tamu hotel."

Rona merah makin matang menghias pipi Lala, instingnya lalu mengangkat map untuk menyembunyikan wajah.

"Baik, Pak."

"Lala?"

"Iya, Pak?"

"Nanti siang kamu makan sama saya." Lala tidak segera menjawab, hanya terbengong sejenak lalu mengangguk singkat dan berbalik buru-buru pergi, lupa kalau akses menuju luar ruangan itu dibatasi pintu kaca, gadis itu nyaris terantuk, berbalik lagi pada Dirgantara untuk mengangguk dan baru mengulurkan tangannya untuk membuka pintu dan keluar dengan selamat. Dirga bisa melihat asistennya itu menarik rambut sebahunya dalam campuran malu dan frustasi dari tempat dia duduk sekarang, tawa geli lolos dari bibir laki-laki itu. Kadang kecerobohan Lala mengingatkan Dirga pada seseorang.

--

Kita putar sedikit waktu, kembali pada latar interior dalam mobil yang dikendarai seorang Roy Budihardjo. Di sebelahnya Febri sibuk mencabut dan memasang kabel konektor I-Pod berwarna biru tua.

"Kamu masih pake relik itu?"

Febri nyengir lebar.

"Hehe, bukan punyaku, punya Bule." Jawabnya, lalu kembali sibuk dengan sound system mobil Roy lagi. "Aneh deh, ini tadi bisa di pake kok di mobil Iyo."

Gadis itu masih direpotkan dengan benda yang harusnya sudah layak masuk museum sampai akhirnya menyerah dan menyambungkan sound system pada ponsel pintarnya sendiri. Tak berapa lama nada asing yang anehnya akrab di telinga Roy terdengar.

"Hello darkness my old friend~" Febri tertawa lagi. "Ah, sayang. Padahal niatku tuh mau kasih denger kamu lagunya Phil Collins."

Roy mengangguk-angguk. Pikirannya tidak terlalu peduli pada Phil Collins atau siapapun sekarang, ada hal lain yang lebih mendesak.

"Kamu beneran ke rumah Budhe?"

Untuk beberapa saat tidak ada jawaban dari teman perjalanannya,dan Roy baru menyadari kalau sebenarnya sedari tadi Febri sebenarnya juga tidak terlalu peduli pada Phil Collins atau siapapun. Gadis itu cuma ingin mengulur waktu sejenak.

"Uh...."

"Budhe telpon aku begitu kamu balik," Roy menjelaskan, "padahal kamu gak beneran kesana juga ga apa-apa."

Tiba-tiba deretan anggrek yang menempel pada pohon angsana di trotoar jalan lebih menarik perhatian Febri. Roy sempat menangkap semu merah yang mewarnai ujung telinga Febri, tawa kecil lolos dari bibirnya.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang