Pulang

632 81 31
                                    

/N/

Dirgun pulang.

Kakinya menginjak lagi tanah Pulau Jawa yang dia rindukan diperantauan. Perutnya mulas dan jantungnya berdebar kencang.

3 tahun, Gun. 3 tahun! Apa gerangan yang membuatnya berpikir untuk malas pulang dan menghirup udara berdebu tanah kelahirannya lagi? Senyum kecil dengan ekor keriting diujung bibir yang menjadi ciri khas seorang Dirga makin lebar kala melihat tungkai panjang Hans melambai-lambai di kejauhan. Senyum Dirgun berubah menjadi gelak tawa saat pria itu menyadari ada sosok kecil setengah tertutup punggung besar Hans membawa karton dengan tulisan tebal-tebal namanya ikut menjemput.

"WELCOME BACK, AFTER 3 YEARS IN KEROBOKAN, DIRGUN!" Dirgantara mengeja tulisan cakar ayam Ar-Rizqi Arzaq.

Bangsat. Umpatnya dalam hati.

"Gun! Akhirnya lo dapet amnesti presiden! Gue kira lo bakal ditembak gara-gara ganja!" Ujar Bayi keras-keras, hanya disambut tawa Dirga yang menjadi tontonan instan masyarakat sekitar.

"Anjing lo, Bay." Kata Dirga sambil memeluk sahabatnya yang masih saja pendek dan cerewet itu.

"Elo tau yang anjing! 3 tahun ga balik-balik! Ganti nama aja sana sekalian jadi Toyib!" Bayi balas dengan omelan.

"Harusnya lo tuh ngerasa makin istimewa kali, Bay. Dibelain pulang sama orang sibuk pas kawinan lo." Hans meyahut sedikit sarkastik.

"Bisa aja lo, Le."

"Mentang-mentang E-ktp berlaku seumur hidup lo enak-enakin aja disono. SIM juga kaga usah diperpanjang di Samsat, via internet juga bisa kan ya, Gun?"

Dirgun tertawa makin keras, tapi tidak bisa membalas apa-apa. Ia paham mengapa sahabat-sahabatnya kesal, jadi dibiarkan saja sepuas hati mereka menghujat dirinya, hitung-hitung obat kangen.

"Iya gue juga kangen sama kalian berdua."

Bayi menarik nafas panjang lalu membuangnya dengan dramatis.

"Dapet salam dari Dyo, maaf ga bisa ikut jemput anaknya rewel. Dari Rendy juga salam metal katanya, ntar nyusul di apartemen sorean." Bule menginformasikan, Dirga balas dengan anggukan.

"Ini anak-anak Mamih ngumpul di apartemen lo kaya biasanya?"

"Ho'oh." Alih-alih Bule, Bayi memberikan jawaban. Tapi dengan segera dikoreksi sendiri. "E..e..e.. nggak semua. Si Cacing bakal malem banget dateng dari Jogja."

"Ye.. gak kemaleman juga ga bakal dateng dia."

"Oh... kenapa emang?"

"Biasa, suami siaga. Si Febri kan hamil muda."

"Ooooh...."

Ooooh........ hantaman perih tiba-tiba datang lagi setelah berhasil Dirgantara lupakan sejenak, mengingatkan laki-laki itu mengapa dirinya lebih senang mengirim Ayah-Ibunya tiket pesawat tiap lebaran dari pada harus kembali ke Jawa dan mengulang lagi luka yang ternyata belum kering setelah kepulangan Dirga untuk yang pertama kalinya 3 tahun lalu.

..

Kamar tamu apartemen Hans masih sama, kecuali mungkin absen bekas air mata. Dirga terbawa dalam nostalgia lama, 3 tahun lalu di kamar ini Dirga kehilangan. Pahit harus Ia kunjungi lagi potongan demi potongan adegan, mulai dari kabar yang harusnya sudah Dirga duga tapi tak pernah terpikir untuk mempersiapkan hati demi menghadapi. Karena seribu kata andai masih menghantui, bahkan sampai sekarang.

"Andai dulu gue berani bilang, mungkin sekarang gue yang absen karena jagain istri hamil." pikir Dirgantara.

Konyol.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang