Nostalgia

713 77 11
                                    

/D/

Rendy yang duduk di belakang kemudi, seingat saya. Saya dan Bayi di belakang, memperhatikan dalam diam jemari panjang Bule mengutak-atik I-pod tuanya, tertancap pada sistem pemutar musik. Tidak perlu menunggu lama lantunan lagu yang saya kenal terdengar di kabin.

"Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja"

Bayi misuh. "Woy! Baru juga lima meter dari Bantul."

Tapi Bule tidak peduli, dengan senyum lebar mengembang dia mulai berduet dengan Rendy. Keras-keras, mematahkan syahdu yang terkandung dalam tiap nada.

Ironis buat saya, untuk sekian lama saya mengenal lagu ini, tidak pernah sekalipun saya berbagi sentimen di dalamnya. Sekalipun secara teknis saya pernah ada cerita di Jogja, nostalgia yang terentang jauh beberapa tahun lalu. Tapi yang terkenang justru malam bulan purnama kemarin. Mungkin karena dalam periode itu momen kehilangan saya terjadi saat saya ada di hangatnya dekapan kota yang saya panggil rumah. Sedangkan kemarin, disaksikan bulan purnama Jogja saya harus melepas Mpeb.

"Lo harus bahagia."

Air mata mengucur deras, diam-diam segera setelah Febri pamit tidur. Saya tidak mengerti kenapa saya menangis? Apakah kehilangan atau haru yang berperan lebih besar? Apakah keraguan yang baru menghantam saya? Bagaimana saya menjadi bahagia kalau saya tidak lagi punya akses pada sumbernya?

Lama kemudian saya baru mengerti arti dari duka malam itu. Saya baru merasakan makna ikhlas dan rela yang sebenar-benarnya. Saat seseorang merasa ikhlas, beban yang berat menekan tiba-tiba hilang, membuka lebar pintu emosi yang terperangkap. Dan arus campuran bahagia dalam sederhana yang sempat terlupa, kesedihan, sesal dan segala yang masih serupa melemahkan sendi.

Saya belum tidur lagi sejak semalam, menutupi mata bengkak dengan hoodie yang saya turunkan rapat hingga hidung. Berpura-pura lelap, walaupun sebenarnya terus terjaga selama perjalanan. Saya dengar kasak kusuk Rendy dan Bule, asumsi yang herannya begitu tepat poin per poin, seakan-akan mereka ikut duduk memeluk lutut di bawah sinar bulan.

"Baguslah kalau mereka bisa ngelepasin satu sama lain. Dua-duanya butuh move on, apalagi si babun satu itu udah punya cowok juga kan? Ya sakit lah kalau cowoknya tahu dia masih kebayang-bayang Dirgun." Rendy berujar bijak.

"Ye... curcol, 'Ndut?" Bayi mencibir.

"Ih iya nih kampret, mata gue keringetan kenapa ya?"

"Lelah menatap luka kehilangan yang belum lagi kering kali, Ren." Kali ini Bule yang menyahut, lalu mendesah.

"Eh, tai. Sok puitis lo. Kaya Jikustik."

"Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu"

Desah nafas panjang yang menekan dada terembus lagi. Kota Jogja mulai tertinggal di belakang, bersama hati dan senyum kecil di bawah sinar purnama yang terkunci dalam kotak kenangan.

--

Febri tersenyum lebar dan membisikkan ucapan terima kasih begitu saya menurunkan barang terakhirnya dari bagasi, sebuah kardus terikat dengan tali rafia ungu, sekilas terlihat sampul buku linguistik terlindung rapi oleh plastik mika.

"Pulang sendiri?"

Febri menggeleng.

"Dijemput." Jawabnya.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang