/N/
Hujan turun menitik satu-satu, membentuk galur basah di jendela samping ruang tamu kosan Mamih. Langit terus mengamuk dan bergemuruh, bercerminkan hati Dirgantara. Dia duduk tepekur diantara gelap dan sunyi, menghitung tetes hujan dan siulan angin. Dingin.
Hanya ada dia dan Febri tidur di dalam kamar setelah lelah menangis. Jarak yang tadinya menjadi momok kini luruh, dan hanya butuh setengah jam untuk melorot kekakuan yang dipelihara selama nyaris setengah tahun.
Setengah tahun yang terasa selamanya. Bahkan setelah Dirga berusaha mencari perempuan lain sebagai pelepas rasa yang makin tidak nyaman dipendam.
Dirga bangkit dari sofa, mengambil satu pack kretek dan berjalan ke balkon. Menikmati nikotin yang harusnya ia hindari karena gadis yang membuatnya berhenti kini kembali lagi.
Kembali, atau lari?
Keberanian Dirgantara hanya cukup sebagai persinggahan, layar sudah nyaris tertutup tapi Dirga masih berharap ada plot twist spesial untuknya. Petir menyambar sekali lagi, diikuti dering ponsel dalam sakunya.
Omed is calling.
"Halo? Iya, Mas?"
--
Febri benci tidur di dalam gelap. Menurutnya gelap hanya membuat bingung. Seumur hidup hanya beberapa kali dia sengaja mematikan lampu kamarnya dan tertidur dalam kebingungan. Dan hari ini adalah hari yang pas untuk memindah galau di hatinya pada bunga-bunga mimpi.
Mungkin karmanya yang menerima uluran tangan tulus dengan seribu kehendak dan agenda.
"You took me for granted!"
Mungkin benar. Hari ini, setelah semuanya terangkum menjadi kata terlambat Febri menyadari bahwa ruang yang sama besar di hatinya, sejatinya selalu timpang. Ruang bersekat-sekat yang sesak dipenuhi Brian dan lorong tersembunyi yang baru terbuka saat bangunannya hancur berantakan. Tapi toh akhirnya Febri yang mengalah. Setelah sekian lusin luka yang ia berikan pada Brian mungkin perpisahan akan menjadi akhir yang indah untuk mereka berdua.
Siapa?
Brian dan Nefida mungkin.
Febri memilih bergulung dalam sakitnya kehilangan orang yang paling berharga. Lucunya dalam keadaan yang begini pun, rasanya masih lebih baik. Dari apa? Daripada perhatian tersembunyi Dirga, yang jujur malah terlihat miris.
Di luar angin dan hujan masih mengguyur. Dirga baru saja kembali dan tanpa suara pergi lagi setelah mengambil ponsel. Seandainya, seandainya saat itu dia mampu mengumpulkan keberanian.
Seandainya Dirga berani memulai lebih dulu.
Hanya butuh 3 kata, dan Febri akan menyerahkan semuanya. Termasuk hati yang masih tercerai berai. Tapi Dirgantara terlalu adil. Dia tidak ingin mengambil kesempatan dari sisa-sisa badai yang ditinggalkan orang lain.
Adegan-adegan yang sama terus berulang, simpang siur dialog menjadi satu dalam chaos besar, leleh jadi air mata yang terus menetes-netes seperti hujan yang tak lekas reda.
"Lo kenal Nefida?"
"Iya."
"Siapa Nefida?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
RomanceSaya dan Dirgantara sudah saling kenal sejak, entah... mungkin kami tidak pernah saling asing. Saya dan Dirgantara, seperti langit dan awan putih empuk yang melayang diantara biru. Saya dan Dirgantara. Saya menjadi air yang meluruh, sementara Dirga...