Febri

729 79 22
                                    

/F/

Menikah.

7 huruf, sama banyaknya dengan mengupil.

Tanpa ada maksud bercanda atau mempermainkan, Cacing mengajak saya menikah. Dan tanpa bermaksud memberikan harapan lain saya mengiyakan, setelah 5 kali saya tolak dengan sungguh-sungguh. Entahlah, kaum virgo yang terlihat mudah menyerah itu ternyata cukup ulet juga kalau sedang ada maunya.

Saya iya kan, setelah pada suatu hari yang sebetulnya tidak termasuk hitungan momen terbaik untuk melamar seseorang, kami berdua nyaris mati kepanasan di dalam mobil saya yang mati AC, mungkin sedikit meracau karena dehidrasi Cacing tiba-tiba mengaku, "aku sebenernya tahu."

Kami berdua sedang dalam pencarian taman baca umum yang butuh sumbangan buku, jauh di bagasi ada 4 kardus besar hasil petualangan kami berdua di pasar buku bekas dan sumbangan teman-teman menunggu rumah baru. Hari itu saya yang pegang kemudi, tidak terlalu fokus karena sinyal GPS juga timbul tenggelam.

"Hah? Gimana? Tau apa?"

"Kamu sama Dirgun pernah ada cerita." Jawaban santai yang keluar dari mulut Cacing seperti punya daya yang mendorong kaki saya untuk menginjak pedal rem kuat-kuat. Beruntung di jalan sepi perkampungan tepi kota begini cuma ada mobil saya yang melaju di atas aspal yang mulai bolong-bolong lagi, sehingga yang jadi korban atas kecerobohan saya hanya diri sendiri.

"Cacing... aku bisa jelasin." Saya menyahut panik, seperti ketahuan selingkuh.

Dipikir-pikir lagi mungkin dalam pengertian Cacing saya memang sedang terlibat dalam perselingkuhan semu dengan Dirgantara.

Cacing tersenyum simpul lalu memiringkan kepala menatap saya langsung, yang balik melotot horor.

"Aku juga tahu kalau alasan kamu selama ini menolak lamaranku karena sebenarnya kamu merasa bersalah sama kami berdua. Kamu nggak bisa menyakiti salah satu diantara kami."

Mata saya makin membulat ngeri.

"Tapi, Sof. Kamu harus tahu kalau apa yang kamu lakuin sekarang malah menyakiti lebih banyak orang, termasuk kamu sendiri."

Dan begitu saja. Dilema saya yang beranak-cabang tentang ketakutan saya tidak bisa memenuhi ekspektasi calon mertua, tidak yakin kalau saya tidak bakal selingkuh, belum siap terkungkung dalam rutinitas sebagai seorang istri, masih ingin bebas, belum merasa cukup dewasa untuk mendidik anak, semuanya luruh begitu Cacing menyentuh bibit yang sudah berakar kuat.

Saya takut menyakiti orang lain, dan yang paling saya takutkan: menyakiti diri sendiri. Yang tentu saja sudah saya lakukan, setiap saat, setiap waktu. Setiap saya memikirkan Cacing saat saya bertemu dengan Dirga, setiap ada nama Dirga muncul dalam cerita-cerita Cacing. Saya takut belati yang terhujam dalam genggaman saya melukai salah satu pihak, padahal darah yang tercecer adalah darah saya.

Bodoh.

"Lebih baik kamu sudahi kebiasaan jelek yang satu itu, dan mengiyakan lamaranku kali ini, karena aku nggak yakin aku bisa minta kamu untuk jadi teman hidupku untuk yang ke tujuh kalinya." Cacing berhenti sejenak lalu meraih tangan saya dalam genggaman, suaranya terdengar lelah ketika ia meneruskan kalimatnya "karena kesabaran seorang Cacing yang kelihatannya cuma bisa menunggu geliat cuaca di dalam bumi pun ada batasnya."

Saya terima lamaran ke-enam Cacing saat itu juga, tanpa adegan membuka kotak cincin sambil berlutut, tanpa ada kejutan dalam bagasi, tanpa ada kue, hanya ada saya dan Cacing dalam mobil yang terpanggang sengatan matahari jam 2 siang.

--
Menikah.

Tujuh huruf sederhana yang pernah menjadi momok. Kami persiapkan sebaik-baiknya, dengan kehati-hatian. Sudah cukup banyak cerita yang saya dengar tentang marriage blues, dan kesibukan Cacing sebagai mahasiswa pasca sarjana di Jogja herannya cukup menjadi bantuan pencegah konflik.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang