/D/
Saya sedikit berharap hangover bisa menjadi alasan untuk saya memasang tampang lunglai pada hari pernikahan Febri, tapi tampaknya harapan jelek itu kandas sebelum sempat saya membuka mata. Tidak ada rasa mual familiar itu, tidak ada pening yang menggigit, satu-satunya yang tersisa hanya sedikit euforia yang malah membuat saya merasa lebih segar dari biasanya. Yang jelas bukan karena saya minum terlalu sedikit.
Febri pulang bersama dengan Roy. Mata yang memandang saya prihatin bertubi-tubi menghujam dari semua orang, kecuali Roy. Dari semua orang, hanya laki-laki yang menduduki kursi yang hanya bisa saya khayalkan, satu-satunya dia yang memberi makna berbeda dalam sorot mata yang selalu teduh dan hangat itu. Saya sedang tidak ingin dikasihani seperti baru pulang compang-camping dari medan perang, dan laki-laki itu memandang saya sebagai lawan yang setara tanpa ada rasa sombong, hanya perasaan mengerti sebagai sesama korban dari kata-kata rindu yang tertahan dan membusuk hingga menjadi penyakit di antara saya dan calon istrinya.
"Seenggaknya, Gun. Dengan Cacing gue bisa menjamin kebahagiaan Febri." Kata Dyo, mungkin berniat sedikit menghibur.
Memang, Febri akan lebih bahagia jika dia menikah dengan Roy. Bahkan jauh lebih berbahagia dari pernikahan dalam pengandaian kami yang hanya hidup dalam batas imajinasi liar di bawah pengaruh alkohol.
Pagi itu, jauh dalam kotak ingatan saya putar ulang reka adegan ratusan babak. Dari teriknya matahari di lapangan baseball sore itu, dinginnya malam di Jogja, dan..
"Boleh gue peluk? Untuk terakhir kalinya?" Pinta saya, Febri menundukkan kepala, saya tahu dia sedang mati-matian menahan air mata.
Untuk apa dia menangis saya juga tidak mengerti. Bukankah esok pagi kamu akan menjadi ratu semalam? Dan untuk di hari-hari selanjutnya kamu akan dimanjakan dalam gelar istri dari seorang Roy Budihardjo? Harusnya gue yang berhak menggugu, meratapi nasib dan kebodohan yang membuat gue kehilangan elo. Mungkin tidak untuk selamanya, dalam pengertian pertemanan. Kita tetap akan terikat pada tonggak-tonggak kuat yang punya nama dan kepribadian; Bule, Bayi, Iyo. Tapi kehilangan yang menurut gue jauh lebih sakit karena hanya gue seorang yang akan terus merasakannya tiap gue memandang lo, Mpeb. Tiap senyum yang lo ulas, yang bukan untuk dan karena gue.
Saya egois, bukan hanya untuk malam ini tapi dari dulu pertama kali saya mengenal kamu, dan seterusnya. Secuil rasa benci muncul dari kamu yang ingin bahagia tanpa terikat rasa bersalah pada saya yang egois ini, saya yang..
Kamu mendekap saya dalam kehangatan yang belum pernah saya kenal. Air mata yang mengalir, membanjir di wajahmu, bukan air mata seorang perempuan yang terluka sebagaimana dahulu saya sering mengeringkannya dengan telapak tangan saya. Kamu tidak butuh penghiburan, saya yang butuh, namun kamu tidak bisa menawarkan apa yang saya mau, karena saya cuma mau kamu.
Ingin saya berteriak, hingga rongga dada saya pecah. Jangan pergi. Jangan pergi!
Jangan pergi.
Tapi kami sudah lama meninggalkan saya, sejak hari berhujan itu.
Kamu pergi tanpa menoleh pada saya yang selalu terlambat.
Harum kuat campuran minyak telon dan lavender merambat dari sela-sela jaket, bau kamu. Tercampur dengan bau bir hitam yang saya tenggak.
"Sorry, Gun. Sorry."
Kami berulang kali meminta maaf, untuk dosa yang tidak pernah kamu perbuat. Di pengadilan ini saya pesakitannya, Feb. Dan bukannya balik meminta ampun saya malah menambahkan beban untuk kamu pikul lagi seumur hidup. Bukan kata maaf, saya malah meracaukan pernyataan cinta.
"Apa gue bener-bener udah gak punya kesempatan?"
"Lo mabuk, Gun. Jangan begini sama gue."
"Gue bener-bener....... Feb..... sama elo.... gue.. gue...." Kata gue lagi, dengan penekanan, dengan harapan siulan terakhir ini bisa menggoyahkan kamu. Tanpa sadar ada laki-laki lain yang sama manusianya dengan saya menunggu gelisah di balik pintu. Tanpa sadar saya menjadi antagonis bangsat di cerita mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
RomanceSaya dan Dirgantara sudah saling kenal sejak, entah... mungkin kami tidak pernah saling asing. Saya dan Dirgantara, seperti langit dan awan putih empuk yang melayang diantara biru. Saya dan Dirgantara. Saya menjadi air yang meluruh, sementara Dirga...