One Way Trip (1)

771 83 20
                                    

/N/

BRAK!

Riuh rendah lalu lalang manusia-manusia ceria yang hendak liburan ke Jogja langsung senyap begitu Dirga melempar ransel hitamnya dalam bagasi mobil Rendy dan langsung membanting pintu bagasi. Saat mereka semua tahu Febri sedang di dalam mobil sendirian.

Tidak butuh rumus panjang, Febri punya pacar lagi dan Dirga marah. Kenapa? Sepertinya pertanyaan yang sama juga ditanyakan yang bersangkutan dalam hati.

Kenapa gue jadi kesel?

Berbeda dengan Dirga; teman-temannya yang menonton dari samping tahu persis kenapa Dirga marah. Bayi, Bule dan Dyo cuma geleng-geleng sambil meniup cangkir kopi masing-masing. Rendy yang baru keluar dari rumah ikut menggeleng prihatin sebelum lalu berkomentar sambil mencomot pisang goreng hangat buah karya Mamih, "Tuh, kalau cinta dibikin ribet. Jadi stress sendiri dia."

"Ya nggak semua orang punya muka tembok kaya elo, Ren." Bule mengingatkan.

"Tapi kita sama-sama setuju kalau cuma Dirgun seorang yang segoblok itu sampai kecolongan dua kali, kan?" Lainnya mengangguk-angguk menyetujui dalam diam, tidak lama sebelum Bayi mengoreksi pelan.

"Tiga kali, Ren."

Oh.

Kumpulan penonton itu langsung sepi lagi begitu Dirga mendekat.

"Bukan gue, Gun." Bule buru-buru membela diri, tidak ada yang tahu kenapa Bule merasa teracam oleh Dirga yang cuma lewat untuk mengambil koper. Yang pasti atmosfer mental pagi itu tidak seceria kicauan burung perkutut milik tetangga sebelah.

.

Perjalanan panjang berawal dari starteran pertama dua mobil yang langsung menghilang di ujung jalan, meninggalkan Mamih yang melambai sambil tidak henti-hentinya berteriak untuk hati-hati dan kawanan beler yang sepertinya sama-sama baru bangun karena dipaksa mamih cuma berdiri sebagai syarat biar kelihatan sebagai teman-teman yang perhatian sambil garuk-karuk kulit di balik kaos. Febri menyaksikan semua itu sambil tertawa walaupun dengan sedikit aneh. Bayi tahu persis karena pemuda itu nyaris 6 tahun mengenal Febri dan tawanya yang khas, yang barusan adalah jenis yang dipaksakan. Tidak berani berkomentar dia hanya melirik dari kaca dashboard dan tidak sengaja bertemu mata dengan Rendy yang ternyata sedang memikirkan hal yang sama.

"Ntar lo kalo lelah bilang aja, Ren. Gue gantiin." Kata Febri riang sambil membuka sekantong besar cheetos lalu menyuapkan isinya satu-satu pada Bayi dan Rendy sebelum menguasai sisanya seorang diri. Bayi yang mau tidak mau ikut mendengar omong kosong itu cuma mencibir.

"Baru punya SIM A tiga hari udah bergaya lo."

"Ye... yang penting gue berguna. Emang elo?" Tukas Febri sewot. 

Rendy cuma menarik nafas dalam sebelum menambahkan dengan nada lelah,

"Mobil gue transmisi manual."

Helaan nafas Rendy terdengar makin panjang saat Febri yang menguasai tempat duduk tengah seorang diri menjawab sambil cengengesan.

  "....oh. Gue bisanya pake matic, maaf sobat."  

Lalu lintas berjalan tenang dan lengang, cukup masuk akal karena memang belum masuk musim liburan dan sepertinya tidak cukup banyak orang yang nekad menempuh perjalanan panjang lewat jalur darat menuju Jogja kalau bukan sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi kelebihan tenaga. Sekitar 100 meter di depan mobil Dyo melaju dengan kecepatan sedang, Rendy jadi sedikit sendu mengkhayalkan suasana tenang dan nyaman yang berbeda jauh dengan keadaan di dalam mobilnya sendiri saat ini. Lagipula siapa sih yang punya ide menyatukan dua anak monyet imbisil yang tidak bisa diam ini? Diam-diam Rendy menaruh curiga pada Dyo yang mungkin masih meragukan sifat kedekatannya dengan Annisa.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang