"Terimakasih karena telah memberikan alasan untukku menginginkan kamu"
--
Sepertinya keputusan Natcha untuk mengejar Arllen adalah sebuah kesalahan. Bodohnya ia mengikuti Arllen sampai ke atap sekolah. Seolah ia memiliki tanggung jawab untuk memastikan cowok itu baik-baik saja. Dengan langkah yang pasti ia mendekati Arllen yang kini sedang berdiri di ujung pagar atap sekolah. Manusia dingin itu tengah menengadah menantang paparan sinar mentari secara terang-terangan.
Arllen berdiam diri membiarkan mentari menyengat tubuhnya. Ia ingin suatu rasa yang bernama panas membakar dirinya. Ia ingin semua rasa yang bernama sakit terasa nyata bukan hanya menyiksa batinnya. Tapi lagi-lagi kembali pada kenyataan, kepada ingatan. Tak pernah sekali pun ia membenci Freya, ialah yang tak pernah bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Seperti seorang pecundang. Selalu ingin lari dari kenyataan.
"Arllen, kamu ngapain ke sini? Kenapa gak ke kelas aja?" Pertanyaan polos dari gadis di sebelahnya membuat ia mengerutkan kening. Merasa terganggu.
"Kenapa gak ke kelas? Atau kamu mau bolos jam pelajaran dengan tidur di sini lagi?" Arllen menghela napasya pelan, menurunkan dagunya lalu menoleh ke arah gadis di sebelahnya dengan datar.
"Lo gak bisa baca situasi apa kalau gue lagi gak mau di ganggu!" bentaknya.
"Ya mana tau kalau kamu lagi gak mau diganggu."
"Yaudah sono lo pergi!"
"Gak bisa kalau gak ngebentak ya? Dasar manusia kasar!"
Arllen geregetan sendiri karena Natcha yang tidak sadar situasi. Apa tampang senggol bacok mode on-nya kurang jelas? Benar-benar Arllen heran pasalnya gadis itu selalu saja hadir di saat mood-nya tengah buruk. Seperti pagi saat Natcha membangunkannya, lalu saat ia tengah menyendiri di atap sekolah, dan sekarang juga. Jangan salahkan ia jika Natcha menjadi tempat pelampiasan suasana hatinya. Gadis itu sendirilah yang merelakan dirinya.
"Lo mau pergi atau gue peluk?" Natcha sampai menganga mendengar pertanyaan yang begitu mulus tercetus dari bibir cowok di sebelahnya. Di tengah paparan sinar mentari yang semakin meninggi mereka beradu pandang. Sorot mata Arllen yang begitu lekat seketika membekukan seluruh tubuhnya. Bibirnya hanya mampu bergetar padahal segala macam umpatan dan cibiran untuk Arllen sudah di ujung lidah.
"Jadi lo gak mau pergi?" Tentu saja mau pergi, saat ini Natcha bahkan tengah berusaha mundur secara teratur tapi dekapan Arllen segera menenggelamkan dirinya kedalam dada bidang milik cowok itu. Ah, perpaduan sinar matahari dan hangatnya dekapan Arllen sukses membuatnya kepanasan.
"Ar...llen...k-kamu kenapa sih...lepasin Arllen..." Tidak seperti sebelumnya Natcha harus meronta dulu Arllen sudah langsung melepaskan pelukan singkat itu dan langsung memalingkan wajahnya.Tentu dapat terlihat walau sekilas wajah merah merona cowok itu. Begitu juga dengan Natcha yang sedang berusaha berdamai dengan detak jantungnya.
Namun tak berlangsung lama Natcha langsung sadar akan kemarahannya. Pelukan singkat yang seakan menggetarkan hatinya itu sungguh tak bisa ia terima bagaimana pun juga. "Dasar kurang ajar kamu! Dasar cowok kurbel! Enak aja peluk-peluk sembarangan emang aku cabe-cabean!!" Berbagai umpatan itu Natcha lontarkan dengan suara kian lantang dan kepalan tangan yang geram.
Balasannya hanya cengiran tipis dari bibir Arllen. Arllen kembali menatap wajah gadis yang sedang marah-marah itu dengan bersedekap dada. Melontarkan cengiran dengan geleng-geleng kepala. "Kamu lucu ya kalau lagi marah, bisa bikin aku ketawa." Natcha setengah menganga. Memangnya ada orang lagi marah tapi malah terlihat lucu?
"Tadi marah-marah, bentak-bentak, sekarang senyum-senyum gitu! Dasar GGA!" cetus Natcha.
"GGA?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MY POSSESSIVE PRINCE √
Teen FictionHanya fiksi semata, ambil baiknya buang buruknya. Natasya Affrani (Natcha) tak pernah mengira takdir mempertemukannya dengan Arllen Atthala Naufal si cowok famous di sekolahnya. Ia tak tahu apa pun mengenai cowok yang terkenal karena ketampanan waj...