TRIANGLE

104 10 40
                                    

HANBINIE POV

Pagi itu aku melihat Marine sedang bermain dengan para peri kecil Jinantale. Marine berlarian kesana kemari berkejaran dengan para peri. Gelak tawa renyah miliknya mengisi suasana pagiku di Jinantale. Dimensi yang penuh dengan para peri dan segala sesuatu yang ajaib. Tapi satu hal yang menarik perhatianku sedari tadi adalah seorang gadis berambut silver keemasan dengan mata biru jingga yang selalu menenangkan hati. Sudah lama sekali aku ingin melihat keceriaan ini dari sang gadis. Gadis yang selama ini selalu menangis tersedu di dadaku, kini bisa tersenyum riang tanpa beban. Hal tersebut membuat senyumku ikut mengembang.

"Kenapa kau berisik sekali? Inikan masih pagi" Marine menoleh cepat mengikuti arah suaraku. Mata itu menatapku dengan tatapan lembut, senyumnya juga mengikuti. Kini ia melambai kearahku sambil terus tersenyum. Aku berjalan pelan kearahnya, menahan segala ingin untuk memeluk tubuh mungil itu. "Ada apa kau kesini Hanbinie? Apa kau merindukanku?" Tanyanya santai sambil memetik salah satu bunga mawar putih. "Aku ada urusan sedikit dengan Jinanie" Aku mengambil bunga mawar putih itu dari tangan Marine dan menyematkannya di telinga kanannya. Marine memberi tatapan polos yang membuatku semakin gemas. "Hanbinie..." Suaranya menyadarkanku yang secara tidak sengaja hanya menatapnya tersenyum sedari tadi. "Mau menemaniku berjalan-jalan? Aku bosan... Jinanie juga sangat sibuk akhir-akhir ini" Ia bergelayut manja di lenganku. Si bodoh ini sebenarnya sadar tidak sih kalau setiap hal yang dilakukannya membuatku semakin lemah. "Berhubung aku juga tidak sibuk, oke.." Senyumnya mengembang sangat indah.

"Hanbinie... Lihatlah!!! Mereka sangat cantik kan?"

"Hanbinie... Wahhhh lihatlah disana..."

"Hanbinie... Aku mau kesana.."

"Hanbinie... Coba kesini sebentar... Wahhh ini luar biasa"

"Hanbiniee..."

"Hanbinie..."

"Hanbinieee....."

Suara itu terus memanggilku sepanjang perjalanan. Aku menyukai cara ia memanggilku dengan bersemangat tapi tetap terdengar lembut dan manis. Terkadang kelakuannya membuatku tertawa tanpa sadar. Gadis polos itu terus saja menghujaniku dengan senyum manisnya. Bahkan tanpa sadar ia berlari memelukku begitu saja. Aku juga terkadang kewalahan menghadapi debaran jantungku tiap kali Marine tanpa sengaja menyentuhku. Tapi gadis ini seakan tak menyadari dan menganggapnya biasa saja.

"Aku lelah Hanbinie..."

"Yasudah istirahat disini dulu"

Marine mengikuti langkahku untuk bersandar ke sebuah pohon rindang dekat padang bunga lavender milik Jinantale. Ia duduk tepat di sampingku. Bahu kami menempel dan ia dengan santainya merebahkan kepalanya di bahuku.

"Tidak apa kan aku menyandarkan kepalaku seperti ini?" Ia menolehku sesaat. Aku hanya mengangguk pelan pertanda setuju.

"Marine.." Aku memanggilnya pelan

"Emm..." Ia menjawab pelan

"Raudia menitipkan ini padaku" Aku memberikan sebuah jurnal berwarna hitam milik Raudia

"Eh?" Marine langsung mengangkat kepalanya dan menatapku bingung

"Ini soal ayahmu" Matanya membulat seketika saat mendengar ucapanku

"Bukalah... Banyak yang Raudia catatkan disana, dia juga meminta maaf karena tidak bisa membantumu sampai akhir" Mata gadis itu seketika membendung air, wajah putihnya memerah karena menahan tangis. Marine mulai membuka Jurnal milik Raudia perlahan. Membacanya selembar demi selembar dan tangis itupun pecah. Ia membacanya sambil bercucuran air mata. Aku meletakkan lenganku melingkar di bahunya agar ia lebih tenang.

DIMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang