(01) Awal

124 9 2
                                    



Bagian 1

"Awal"


Mari kita mulai ceritanya.


Tapi sebelumnya ku beritahu apa yang harus kamu tahu sebelum membaca cerita ini.

Aku Reen Romusha. Terserah mau menganggapku lahir pada masa penjajahan Jepang. Namaku berakhiran Romusha bukan berarti aku lahir pada masa kerja paksa Romusha yang dilakukan Jepang. Ayahku memberiku nama ini karena aku ada sedikit keturunan Jepang.

"Ayah itu keturunan Jepang. Keren kan?" Dengan bangga dia bilang kaya gitu ke aku pada saat umurku 7 tahun.

"Terus apa hubungannya? Kenapa namaku jadi Romusha?" Tanya ku karena aku yang baru saja duduk di bangku kelas satu SD, setiap kali guru mengabsen ku pasti langsung bilang, "kamu lahir pas kerja paksa ya?"

"Jadi gini. Walaupun ayahmu ini keturunan Jepang, Ayah nggak pernah ke Jepang apalagi bahasa Jepang, boro-boro ngerti."

"Ya terus?" Tanya ku greget karena Ayahku tak kunjung memberikan penjelasan tentang asal usul namaku.

"Yang Ayah tahu Romusha itu identik banget sama Jepang gitu lah ya. Jadi biar kamu keliatan keturunan orang Jepang, Ayah namain kamu Romusha biar kalau ada yang kenalan sama kamu pasti langsung tahu kamu keturunan Jepang. Keren kan!" Ucap Ayah dengan sangat bangga. Aku yang masih kecil hanya mengangguk saja atas perkataan Ayah. Pada saat itu aku pikir Ayah ku itu memang keren.

Jadi kalau ada yang tanya lagi, "kamu lahir pada saat kerja paksa?" Dengan santai aku jawab, "Bukan. Aku ini keturunan Jepang. Ayahku tentara Jepang yang ketinggalan pesawat pada saat balik ke Jepang. Keren kan!"

Sekarang usiaku 17 tahun, baru saja lulus SMA. Tepat pada saat ulang tahun ke-15 aku sudah terdaftar sebagai peserta didik baru di SMA Sebelas Dua dengan jurusan IPA. Aku sama sekali tak punya bakat di bidang IPA yang penuh dengan pelajaran eksakta. Aku memilih IPA karena aku ingin terlihat keren saja. Keren kan!

Bakatku yang sebenarnya adalah menulis cerita. Makanya aku disini mencoba menyalurkan bakatku dengan cara menulis apa yang terjadi selama aku bersekolah di SMA Sebelas Dua.

***

Bagian 1


Rasa senang yang kurasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di parkiran sekolah baruku. Aku mulai memasuki lobby gedung ini dengan disambut tulisan SMA Sebelas Dua. Di dalam lobby terdapat sebuah miniatur tata letak gedung sekolah ini di dalam sebuah kotak kaca. Pada sisi ruang ini terdapat lemari besar yang juga terbuat dari kaca, di dalamnya terdapat banyak sekali piala.

Aku mengenakkan kemeja putih dengan luaran berwarna hitam. Di Sebelas Dua semua murid mengenakkan baju bebas, kecuali pada hari Senin atau pada saat upacara, barulah seluruh murid mengenakkan batik dengan bawahan hitam.

Aku berjalan ke arah sebuah pintu yang juga terbuat dari kaca, yang kurasa merupakan pintu menuju lapangan sekolah ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku berjalan ke arah sebuah pintu yang juga terbuat dari kaca, yang kurasa merupakan pintu menuju lapangan sekolah ini.

Setelah mendekati pintu kaca tersebut hendak membukanya, tapi sebelumnya pintu itu sudah terbuka dengan sendirinya. Pintu ini otomatis! Aku sedikit terkejut. Pantas saja banyak orang yang ingin terdaftar sebagai murid di sini, selain prestasi yang diraih sekolah ini ternyata sekolah ini canggih. Jadi bangga.

Aku melewati pintu tersebut, aku melihat ada sebuah meja dan kursi yang ada di sebelah kananku yang diduduki oleh seseorang berpakaian layaknya satpam. Aku memandangnya dan melemparkan senyum sebagai salam pengenalan. Di samping satpam tersebut terdapat seorang pria yang seumuran denganku memakai baju batik sekolah ini. Sepertinya dia murid di sini juga.

"Selamat pagi. Murid baru ya Neng?" Ucap Pak Satpam itu dengan senyum.

Aku hanya mengangguk.

"Boleh saya lihat kertas tanda bukti nya?" Kata Pak Satpam. Ku lihat nama yang tercantum pada seragam satpam nya Uki Sajah. nama yang keren.

Aku pun segera membuka tasku. Sial. Resleting tasku terbuka dan kertas tanda buktinya pasti terjatuh. Oke sekarang aku panik. Ku letakkan tasku di atas meja Pak Satpam dan mulai mengorek isinya tapi nihil. Kertasnya terjatuh. Pasti. Aku ingat betul saat turun dari mobil, aku memasukkannya ke dalam tas tapi kok ngga ada.

"Kayaknya jatuh deh Pak kertasnya. Soalnya nggak ada di tas saya. Padahal saya ingat jelas saya taruh tas pak." Aku gugup karena panik. Gila saja, ini adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai anak SMA. Masaiya aku mengacaukan hari pertamaku ini gara-gara tak boleh masuk ke dalam karena keteledoranku menaruh kertas tanda bukti.

"Waduh Neng. Panjang lagi nih urusannya kalau sampe hilang kertasnya." Pak Uki menggelengkan kepanya.

"Nama kamu Reen Romusha?" Aku menoleh ke sumber suara. Dia laki-laki yang sedari tadi berdiri di samping Pak Uki, kini ia sedang menatapku.

"Hah? Kok tahu?" Jawabku kaget.

"Nih, tadi saya temuin ini di parkiran. Lain kali jangan teledor, kertas ini itu penting." Laki-laki itu menyodorkan kertas berwarna biru kepadaku. Syukur deh ternyata kertasnya nggak hilang.

"Ooh, jadi Mas David itu dari tadi berdiri di sini cuman buat ngasih kertas ini ke orangnya ya?" Kata Pak Uki. Aku kaget. Jadi dari tadi laki-laki itu menungguku untuk mengembalikan Kertas Tanda Bukti milikku. Ah jadi enak.

Aku tersenyum mengambil kertas dari laki-laki yang namanya David itu. Tak lupa aku juga mengucapkan terimakasih kepadanya. Dia membalasnya dengan senyuman. Sudahkah ku bilang bahwa David ini memiliki wajah yang bisa dibilang diatas rata-rata? Dan tadi dia baru saja tersenyum kepadaku, apakah kalian tahu bahwa David juga memiliki senyum yang manis?

"Kalo gitu saya permisi dulu, Bang Uki. Masih banyak urusan di ruang OSIS. Jagain sekolah yang bener Bang." David berpamitan dengan Pak Uki lalu berlalu begitu saja.
Aku tersenyum melihatnya.

"Untung ada Mas David, Neng."

"Jadi nama Neng itu Reen Romusha?" Ucap Pak Uki, ia mengambil kertas biru yang ada di tanganku. Lalu mencari-cari sesuatu di dalam laci mejanya. Setelah dirasa telah menemukan apa yang ia cari, ia langsung memberikannya kepadaku. Sebuah kartu berwarna biru dan juga tertera namaku. Aku tahu ini adalah semacam kartu pelajar tapi bedanya tidak ada foto ataupun NISN atau semacamnya melainkan hanya sebuah kode batang yang terletak di bawah namaku dan kelas yang bertuliskan X MIPA 4. Setelah dipikir-pikir ini bukan kartu pelajar, lalu apa?

"Ini adalah Smart Card tapi sering disebut kartu ajaib sama murid-murid disini. Kegunaannya sangat banyak Neng dan sangat penting. Salah satunya adalah buat absen. Jadi kalau Neng Reen datang ke sekolah harus nempelin kartu ini di mesin yang berbentuk kotak yang terletak di samping pintu menuju lobby sekolah ini. Jadi kalo Neng terlambat Neng bakal langsung di panggil BK. Simpan kartunya baik baik ya Neng jangan sampai jatuh lagi." Jelas Pak Uki. Aku mengangguk mengerti.


Sumpah. Ini sekolah benar-benar warbyazah. Bakal betah ini mah di sekolah terus. Ajeng pasti bakalan iri banget karena aku bisa sekolah di sekolah yang bisa dibilang hitz banget.

Berlanjut...

***

Semoga kalian suka dengan cerita pertama saya. Hehehe.
Mungkin agak sedikit membosankan dan klise. Tapi ini baru awal.
Vote dan Comment sangat bermanfaat untuk penulis amatiran kayak saya😊

Sebelas DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang