(08) Jangan Pergi

44 1 0
                                    

Rekomendasi musik/lagu untuk baca bagian ini:


🎶 Love by Lana Del Rey


***

Bagian 8
Jangan Pergi

“Ngapain dia?"

"Katanya sih mau ngajak kamu lari pagi keliling komplek. Tapi Mba bilang kamunya masih tidur terus dia cuman nitip surat sama Mba. Suratnya Mba taruh di meja makan tuh. Kamu sekalian sarapan gih."

Aku mengangguk seraya berjalan ke arah meja makan yang tak jauh dari area dapur bahkan masih bisa dibilang meja makannya berada di area dapur. Ku tarik bangku lalu duduk di atasnya. Ku minum susu yang tadi aku ambil dari dapur sebelum ku taruh di atas meja makan. Sarapan nasi goreng ala Mba Sita sudah tersedia.

Terlihat selembar kertas yang ku tahu pasti itu adalah surat dari Billy. Aku bingung apa yang aku dahulukan, sarapan atau membaca surat dari Billy.

"Sarapan aja dulu. Nanti kalau suratnya bikin mood turun yang ada lu nggak sarapan," suara Iwan terdengar di telingaku. Dia pasti menguping pembicaraanku dengan Mba Sita tadi.

"Gue sumpahin tuh kuping budeg si," kataku kepadanya karena telah menguping pembicaraanku.

"Gue nggak nguping. Cuman tadi denger aja."

Bodoamat.

Ku ikuti saran Iwan untuk sarapan terlebih dahulu. Iwan pun melakukan hal yang sama. Kita hanya sarapan berdua di meja ini tanpa ada Ayah dan Ibu. Entahlah, Ayah mungkin masih tertidur karena ia sering sekali lembur saat kerja. Ibuku? Seingatku sih Ibu hari ini pulang dari Yogyakarta. Di Yogya, Ibuku launching sebuah cabang restorannya. Jangan tanya kenapa keluargaku tak ikut dalam acara launching restoran Ibu, aku pun malas menjawab pertanyaan itu, apalagi datang kesana.

"Ayah pulang nggak Mba?" Tanya Iwan pada Mba Sita yang berjalan ke arah meja makan dengan membawa kopi untuk Iwan.

"Pulang Mas, sekitar jam 3 pagi."

"Setiap hari pulang pagi Mba?" Tanya Iwan lagi.

"Udah makan Mba?" Tanyaku pada Mba Sita. Mencoba untuk mengalihkan pembicaraan tentang Ayah. Aku tahu bagaimana perasaan Iwan kalau ia mendengar bahwa Ayah setiap hari pulang pagi tanpa memperhatikan kondisiku. Ia pasti akan marah besar. Karena menurutnya jika Ayah pulang malam pasti Ayah tak pernah merawatku atau lain sebagainya. Apalagi sifat Iwan yang selalu membelaku.

"Gue nggak suka lu mengalihkan pembicaraan gitu."

"Sarapan dulu aja. Nggak usah banyak omong." kataku kepada Iwan. Mba Sita kemudian duduk di sampingku. Seperti biasa Mba Sita akan duduk di sampingku untuk menemaniku sarapan. Dari dulu memang sudah begitu. Aku tak pernah menganggap Mba Sita ini sebagai pembantu melainkan bagian dari keluarga.


Aku membelalakkan mataku ketika aku lihat Ayah sedang menuruni tangga. Situasi sarapan kali ini pasti akan terasa panas karena Ayah dan Iwan akan saling menyindir satu sama lain. Aku menengok ke arah Mba Sita, Mba Sita yang sepertinya mengerti akan maksudku ia hanya mengusap punggungku untuk membuatku tenang.

"Uang kamu habis?" Tanya Ayah setibanya di ruang makan kemudian duduk di bangku khusus yang berada di ujung meja ini.

"Iya," Jawab Iwan sambil melahap nasi gorengnya.

Sebelas DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang