PART 2

289 147 89
                                    

Tak perlu ada rahasia diantara kita ketika aku berkata "aku mencintaimu" maka kepercayaan itu adalah milik kita berdua.
-----

"NIKEN BUKA PINTUNYA NAK."

"NIKEN JAWAB MAMI NAK."

Terdengar suara gaduh dari luar sepertinya berasal dari kamar sebelah... iya itu dari kamar Kak Niken. Aku lari secepat kilat tanpa peduli dengan pakaianku yang hanya memakai kaos ketat dan hot pants.

"Mami Papi ada apa?" Sambil setengah berteriak aku memangil orangtuaku yang masih tercekat didepan pintu kamar kak Niken sambil memutar gagang pintu kamar Kak Niken.

"Hikss... hiks..." Mami meneteskan air mata.

"Cepat cari kunci serep kamar kakakmu, kakakmu tak tak menjawab panggilan Mami dan Papi dari tadi." Perintah Mami dan Papi serempak saat melihat kedatanganku sambil menampakan wajah panik mereka.

"Ii... yyyaa bentar mi." Suaraku terdengar bergetar lalu aku berlari menuju kamar dan menarik laci kecil disamping tempat tidur tanpa ampun sampai tak kusadari laci itu copot dan isinya berhamburan di lantai, aku berusaha menemukan kunci itu. memang aku menyimpan kunci duplikatnya secara diam-diam karena aku selalu meminjam dress milik Niken secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuannya.

"Mami ini Mi." sambil menyerahkan sebuah kuncil munggil berwarna pink ke tangan Mami.

"Pi cepat Pi buka!" Mami merebut kunci dari tanganku sambil mendorong lengan Papi dengan cepat agar pintu dapat segera dibuka clekk... akhirnya pintu terbuka.

Astaga Tuhan... tubuhku terasa ikut bergetar saat melihat penampakan yang sangat mengerikan terjadi di hadapanku, Kak Niken tergeletak di lantai dengan tangan bersimbah darah. Darahnya mengucur deras membasahi hampir sepertengah tubuhnya dan masih bisa diperkirakan darah segar itu baru saja keluar sekitar 15 menit yang lalu.

Tanpa menunggu aba-aba apapun Papi dengan cepat membopong tubuh Kak Niken yang sudah tak berdaya menuju ambulan yang sudah dari tadi Bi Siti pembantu kami pesan yang sekarang sedang terpakir di depan rumahku.

Tapi sebentar ada sebuah foto yang dia gengam dengan sangat erat terlihat foto itu tercetak bekas darah mungkin terkena tetesan darah Kak Niken sayang darahnya terlalu banyak warna merah darah terlalu pekat terlukis sampai seperempat foto itu hingga tak dapat terlihat dengan jelas foto siapa sebenarnya.

Aku ingin mengambil foto itu hampir 3 jengkal lagi tanganku hampir meraihnya sebenarnya foto itu masih dapat di lihat hanya saja mungkin aku hanya perlu membersihkan sedikit nodanya dengan air keran wastafel, tapi harapanku buyar karena tiba-tiba Papi menarik tanganku agar ikut bersamanya kerumah sakit. Tubuhku sedikit bergetar kaget karena kedatangan Papi tiba-tiba.

"Gladis cepat, kamu tunggu apalagi Mami sudah menunggu di mobil."

"Eh iya.. Iya Pi ini Gladis mau ke mobil, cuma Gladis mau ambil ini sebentar." ucapku sambil masih memperhatikan foto yang masih penuh darah tadi.

"Sudahlah Gladis cepat tidak ada waktu lagi kasihan Mami kamu, apa foto itu lebih penting dari Kakakmu?" lagi-lagi pertanyaan Papi muncul, kali ini aku tak boleh membantah bisa-bisa Papi bisa naik pitam karena jawabanku. kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk perduli pada foto itu.

"Ok... ok... Pi kita turun sekarang." Kali ini giliran aku yang menarik Papi sambil berlari menuruni tangga bisa kudengar suara sesak nafas Papi maklum umur Papi yang sudah tak muda lagi, sekarang saja umurnya sudah menginjak kepala lima dan suara Papi yang samar-samar terdengar menyuruhku pelan-pelan agar tak jatuh.

15 menit kemudian di rumah sakit...

"Pi Niken tidak apa-apakan pi hiks... hikss...?
" Tangan Mami menguncang-guncang tubuh Papi dengan tatapan memohon seolah Papi adalah pengendali atau pemegang nyawa kak Niken.

Titipan Jantung Untuk GladisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang