Bimbang

23 2 0
                                    

BUNGA MALAM

Biarkan aku memilih bunga mawar walau durinya dapat melukaiku. Mungkin aku harus berhati-hati, menghirup harum dari kejauhan, menatap kagum indah kelopaknya. Atau mungkin ku harus mematahkan duri itu secara perlahan dan melukainya?

Sadarkah kau? Dirimu lah bunga mawar itu, indah, namun apabila semakin erat ku memelukmu maka diriku akan semakin terluka karena duri itu.

Bunga malam, izinkan aku berjalan dengannya walau semua itu akan menjadi binasa ketika mata ini terbuka. Kalaupun boleh, biarkan mata ini tertutup untuk selamanya, biarkan aku bersamanya hingga raga ini kembali.

Bukankah kau akan bahagia bila bersemi tanpa harus membangunkanku dan merasakan sakitnya menebang dirimu sendiri?

Selesai sudah karangan Fabian yang ditujukan untuk Ryma yang telah membuatnya kecewa. Tegukan kopi hitam mengakhiri karangannya yang telah selesai.

Fabian kembali menatap langit di malam ini. Indahnya langit tak senada dengan suasana hatinya saat ini, otaknya masih terus bekerja untuk mengingat kejadian itu.

Aku benci dengan cinta!

Pukulan keras Fabian di atas meja membuat kopinya di cangkir harus tumpah walau tak semuanya. Emosinya memuncak, bahkan sempat terlintas di benak untuk memberi pelajaran kepada Johan yang mengapa harus menjadi orang ketiga dalam hubungannya.

Seiring berputarnya jarum jam Fabian kini mulai merasa tenang, dia kembali meneguk kopinya. Pikiran buruknya untuk melukai Johan telah hilang ditelan waktu, dia teringat bahwa semua ini bukan salah Johan ataupun Ryma. Johan juga teman dekatnya sejak mereka bertemu di kelas 10.

Mana mungkin pertemananku dengan Johan akan hancur hanya karena cinta. Lagi-lagi cinta, cinta dan cinta. Walaupun cinta yang sempat membuatku bahagia, namun cinta juga yang membuatku bersedih dalam waktu yang sama.

Fabian's POV

Apa yang harus aku lakukan ketika bertemu dengan Ryma esok? Aku bertanya pada pena yang kini aku pegang, namun pena tidak menjawabnya, mungkin dia jenuh melihatku yang terus menangis di hadapannya sehingga membuatnya terdiam tanpa kata.

Habis sudah kopi yang telah ku minum. Aku kembali membakar tembakau, aku tiup asap ke jendela seolah sedang mengejek dunia. Suara serangga malam yang ikut menangis melihatku menjadi harmoni malam ini.

Hingga hampir tengah malam aku merenung di dalam kamar, membakar beberapa kretek. Aku tersadar, tak ada gunanya juga bila aku menunjukkan rasa kecewaku di hadapan Ryma.

Otak kecilku kembali memikirkan suatu hal yang baru, yang membuatku kembali merasa bimbang dengan semua ini. Apa aku harus meninggalkan Ryma dengan rasa yang sama? Apa aku harus tetap berusaha menjaga hati Ryma untuk selalu mencintaiku? Atau bahkan aku harus menghilangkan semua rasaku padanya? Damn for love!

***

Hari yang baru, namun perasaan dan suasana hati masih tetap sama seperti kemarin bagi Ryma maupun Fabian. Mereka harus menyembunyikan rasa kecewanya karena mereka sadar hubungan mereka hanya sebatas teman, bukan itu maksudnya, dalam arti kakak beradik.

Ryma's POV

Hari ini aku tidak punya semangat, langkah kontai membuatku terlihat beda dari biasanya, wajah murung penuh keresahan membuat semua temanku yakin bahwa ini bukan diriku. Sukmaku berteriak, menjerit kesakitan, merasakan pedihnya hati yang tergores.

Sebaiknya aku tetap menjaga sikap agar Fabian tidak tahu bahwa aku melihat kejadian kemarin di dalam ruang olahraga. Aku bukan siapa-siapa, tak pantas bila aku mengungkapkannya.

Jujur aku tidak kuat bila aku bertemu dengannya nanti, tatap matanya menjadi tombak bagi hatiku. Kacau. Aku harus bagaimana? Aku salah bila aku menunjukkan kekecewaanku, tapi aku juga akan merasa tertekan bila harus menahannya.

Sesampainya di dalam kelas, ternyata Fabian sudah duduk di tempat duduknya, menyumbat telinganya dengan earphone putih miliknya.

"Bi.." aku memegang pundaknya.

"Eh Ryma" Fabian melepas earphonenya.

"Lo kenapa? Lo sekarang beda. Hati gue gak enak gara-gara sikap lo yang seperti itu" tanyaku dengan nada yang halus.

"Gue cuma gak nyangka aja, Rym dengan ini" Fabian membuatku penasaran dengan perkataannya.

"Gak nyangka kenapa Bi? Tolong ceritakan" aku memegang paha Fabian dengan dorongan kecil.

"Lo ada hubungan apa dengan Johan?" Fabian menatapku lemah.

"Cuma temen biasa Bi" aku jawab dengan sejujurnya.

"Johan sering cerita sama gue tentang kedekatannya dengan lo. Setiap kali dia cerita tentang lo, gue hanya bisa menahan rasa cemburu gue seakan kita tidak pernah ada perasaan apapun" ucap Fabian yang membuatku kaget.

"Hah? Gue gak deket sama dia Bi. Kemarin pas pulang bareng gue sama dia cuma..." belum selesai aku bicara, Fabian menghentikannya.

"Stop, jangan terusin, gue gak mau tau itu Rym. Udahlah lupakan, gue gakpapa kok" Fabian tersenyum sembari memegang tanganku yang sedang berada di atas pahanya. Aku yakin senyumannya hanya sebuah topeng.

"Maaf Bi. Yaudah gue mau ke toilet dulu Bi" aku meninggalkan Fabian yang masih memakai topengnya.

Fabian hanya tersenyum.

Aku kembali menangis, aku sadar bahwa aku itu gadis cengeng apalagi yang menyangkut perasaan. Sungguh aku ingin mengungkapkan semuanya pada Fabian, tapi seketika mulutku terkunci saat ku tatap matanya.

"Ryma" Ghea menepuk pundakku dari belakang, ternyata dia mengikutiku.

Aku hanya bisa menangis. Aku tak sanggup bicara pada Ghea membahas soal tadi, karena ketika aku bahas itu maka air mata lah yang menggantikan mulut untuk bicara.

"Sudahlah Rym, gue tau perasaan lo. Ayo kita ke kelas, udah masuk jam pelajaran lho" ucap Ghea.

"Iya Ghe" aku segera membasuh wajahku dengan air agar semua orang tidak tahu keadaanku yang sebenarnya.

Kami segera menuju ke kelas untuk mengikuti jam pelajaran pertama. Benar-benar malas aku untuk mengikuti pelajaran pagi ini, aku hanya ingin menyanyi, bermain gitar, atau sejenisnya.

Sudah hampir 90 menit Bu Eni memberi materi pada kami, namun semua itu hanya angin lewat bagiku. Otakku dipenuhi oleh kekecewaan karena luka itu.

"Rym, udah gak usah dipikirin" bisik Ghea padaku.

Aku hanya menatap matanya lalu kembali ku tatap kosong ke buku tulis tanpa noda milikku.

Bel istirahat telah bernyanyi. Aku masih betah duduk di bangku ini, menyendiri, merasakan pilu yang amat dalam.

"Rym, kenapa nangis?" Fabian menghampiriku.

"Eh Rym gue ke kantin dulu ya" Ghea meninggalkan aku dan Fabian karena dia tidak ingin terlihat ikut campur dengan masalahku.

"Iya Ghe" ucapku.

"Rym, kok gak jawab?" Fabian menagih jawabanku.

"Aku gakpapa Bi, lo makan sana" aku hanya menundukkan kepala, tak kuasa bila aku harus menatap matanya.

"Hadap sini, liat gue Rym. Tolong cerita, daripada lo tersiksa hanya karena lo mendem uneg-uneg lo" bujuk Fabian.

Sungguh aku ingin sekali menceritakan semuanya, tapi aku masih belum pantas untuk bicara padanya.

"Fabian, aku gakpapa kok" ku tengok ke arah Fabian tanpa menatap matanya.

"Entah apapun yang ada di pikiran lo, yang pasti perasaan gue masih sama seperti dulu, selamanya" Fabian meninggalkan diriku.

Aku terdiam menelan perkataan Fabian barusan. Benarkah itu? Lalu yang aku lihat kemarin itu apa? Jelas-jelas itu Fabian dengan jam tangan sport miliknya dan juga suaranya, aku sangat mengenal itu. Bukannya aku bahagia mendengar itu, tapi malah aku semakin bingung dengan semua ini.

Will Not ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang