Ambilkan Bulanku

26 3 0
                                    

Sedikit lega aku bisa menceritakan semuanya pada mereka, walaupun masih sedikit air mata yang mengalir di tiap kerut wajah.

"Gue sama Ema mau beli makanan sama minuman buat lo. Lo tunggu sini dulu" Ghea bersiap memakai sweaternya untuk pergi dengan Ema ke kafe itu.

"Gausah lama-lama" ujarku.

"Iya Rym" mereka meninggalkanku.

"Eh, gue ikut aja" aku mengejar mereka yang belum sampai pintu kamarku.

"Yaelah Rym, yaudah buruan" Ema merangkulku.

Aku hanya berpakaian piama di kafe mewah ini, beda dengan Ghea dan Ema yang memakai pakaian yang layak, tidak ada rasa malu yang menyelimuti hati kecilku. Yang ada hanya rasa kekecewaan yang masih meneror perasaanku.

Kami duduk di kursi favorit Ghea di tempat ini, kursi yang berada di sudut kedai dan bersebelahan dengan jendela. Ketika aku membelakangi dinding maka aku dapat melihat seisi ruangan ini yang dipenuhi oleh pasangan kekasih dan tak sedikit pemuda yang hanya sebatang hidung menikmati vodka bersama bara tembakau di sela jemarinya.

"Rym, Ryma!" Pukulan telapak tangan Ghea di pundakku menghancurkan lamunanku yang sedang meratapi keromantisan sepasang kekasih di bangku sana.

"Apa Ghe?" Tanyaku dengan nada yang masih melemah. Aku menatap ke arah hadap telunjuk tangan Ghea.

"I.. itu Johan, Ghe?" Tanyaku tak percaya.

"Iya Ryma, itu Johan!" Ghea kembali menunjuk ke arah Johan.

Sialan! Apa lagi ini! Hati yang masih tergores luka yang amat dalam kini bagai helai kapuk yang terbang dengan pasrah mengikuti angin dingin malam ini. Johan sedang bermesraan dengan wanita lain di sana, dia membohongiku, aku kira memang benar dirinya sedang di luar kora.

Aku harus menghampirinya.

"Kita putus!" Ucapku kasar yang tepat di depan wajah Johan yang masih merangkul wanita iblis itu.

Ku lempar mukaku meninggalkan iblis-iblis itu. Air mataku menetes di setiap langkah kakiku, aku harus keluar dari tempat ini. Aku tidak ingin melihat kemesraan mereka.

Tak terkira sebelumnya, tangan yang paling membahagiakanku ternyata bukan hanya untukku. Menjabat rasa di belakang punggungku.

Entah terbuat dari apa hatimu. Apakah aku masih bisa memaafkan lakumu, yang menikam belati tajam tepat di jantungku. Asal kau tahu, aku rela meninggalkan seseorang yang ternyata jauh lebih tulus mencintaiku dibanding denganmu, lalu apa balasanmu? Kau tega mengkhianati komitmen kita.

Kini aku telah kehilangan sang rembulan di kala aku sibuk menghitung jutaan bintang di cakrawala. Aku harus mencari bulan itu.

"Temenin gue nyari Fabian" pintaku pada kawanku.

"Yaudah pake mobil gue aja" Ema mengangkat kunci mobilnya.

Kami segera menuju rumah Fabian, aku harap Fabian sudi membukakan pintu hatinya kembali untukku. Jujur aku masih mencintainya. Air mataku masih mengalir deras mengucur di wajahku, perasaan apa ini? Bertubi-tubi luka yang masih menganga perlahan menghancurkan hatiku. Seandainya Fabian tidak bisa kembali lagi denganku, sungguh aku tidak akan sudi memaafkan diriku sendiri hingga raga ini mati.

Fabian's POV

Aku masih di sini, di depan rumah yang telah berdiri megah, dan kini hanya menjadi saksi bisu yang tanpa sengaja melihat dan mendengar saat seseorang mengucap kalimat yang menjadi tombak tajam penusuk hatiku. Ini bukan rumah, melainkan ribuan anak panah yang malaju menusuk hatiku lewat mata dan pikiran menuju hati yang terdalam.

Menurutku aku bukan seorang pria sejati, sebab air mataku sampai saat ini masih mengalir deras pada kerut wajahku. Semuanya kacau, hancur, aku hanya ingin mati, tak sanggup aku harus pasrah menahan sakitnya luka abadi ini.

Aku memutuskan untuk pergi bersama motor antikku tanpa arah dan tujuan, daripada aku masih berada di tempat ini, seakan pasrah akan terpaan panah yang dengan kejam menghancurkan hatiku secara perlahan.

Entah harus seberapa jauh aku mengukur jalan sepi kota ini berdua bersama motor antikku, kendaraan yang penuh dengan kenangan manis bersamanya. Pikiranku melayang-layang bersama terpaan angin yang membawaku pada kejadian sore itu.

Bahkan langit malam ikut menangis melihat hatiku yang telah menjadi serpihan-serpihan kecil bagai pasir. Dinginnya air hujan yang menusuk tulang tidak sanggup untuk mengalihkan pikiranku yang masih melayang.

Masa bodoh dengan kendaraan yang melaju cepat akan menghamtamku, yang jelas aku hanya ingin menikmati pedihnya luka di jalan ini. Mati? Lebih baik itu bukan?

Ryma's POV

Entah harus kemana lagi aku harus mencari Fabian saat gerimis seperti ini. Aku sangat cemas mimikirkan kabarnya, aku harap dia baik-baik saja.

Tiba-tiba hatiku merasa tidak enak, tak lama aku melihat sesuatu yang janggal di depan sana, tidak jelas memang karena derasnya hujan menutupi pandangan. Kami semakin dekat dengan benda atau apakah itu yang tergeletak di bawah pohon pinggir jalan itu.

Apa? Bukannya itu motor Fabian, dan jaket yang dikenakan orang itu bukannya yang tadi dipakai Fabian saat terakhir bertemu denganku?

Ternyata benar, Fabian. Pasti semua ini gara-gara aku, aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Tak sanggup aku melihat luka parah di kepala Fabian, darahnya mengalir mewarnai air hujan yang telah membasahi jalan.

"Fabian! Bangun Bi" aku menangis memeluknya.

"Bi!"

"Ini gue Ryma, gue mau janji bakal sayang sama lo, setulus-tulusnya. Gue rela lo nyakitin gue lebih sakit dari apa yang selama ini gue lakuin ke lo" aku berteriak mengharap sesuatu yang mustahil terjadi.

Aku melihat kertas yang masih ada di genggaman Fabian. Ku ambil dan ku baca segera.

Sudah bertahun-tahun aku menjaga hatiku, menutup hatiku dari sekian banyak tamu yang hendak singgah abadi, melompati batu besar, melewati krikil tajam yang kerap menghambat langkahku untuk berjuang menunjukan ketulusan cintaku untukmu.

Lalu hasil apa yang aku dapatkan dari usaha keras yang selama ini aku lakukan hanya demi membahagiakan dirimu? Semua ini di luar harapan yang berujung kesia-siaan, penyesalan.

Yang jelas, aku akan tetap mencintaimu, selamanya walau raga ini telah berada di alam yang berbeda.

Ryma, I love you too much

Will Not ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang