Hilang

14 2 0
                                    

Fabian's POV

Dimana rokokku yang lupa aku bawa tadi pagi? Aku butuh itu. Lebih baik aku mencari kopi dahulu dan menyeduhnya. Ternyata rokok itu berada di balik pintu lemari makan, syukurlah. Kembali aku duduk di tempat favoritku, langkahku terhenti ketika mendengar decit pintu kamar. Ternyata itu papaku.

"Fabian" papa menutup pintu kamarnya.

"Iya Pa, ada apa?" aku menghampirinya.

"Papa minta dulu kopinya" srrrup...

"Sini duduk di sebelah Papa. Papa mau bicara" Papa menarik tanganku pelan untuk duduk di sofa depan TV.

"Kenapa Pa?" aku penasaran.

"Papa ingat pesan terakhir Mama kamu, dia pernah bilang sama Papa, katanya kamu harus sekolah di negeri tempat lahir mamamu. Di sana pendidikannya terjamin, lapangan pekerjaan juga banyak. Gimana menurutmu Bi?" kata Papa.

Sepertinya itu tawaran yang menarik, aku ingin sekali jadi orang sukses. Di sisi lain aku juga punya sebuah impian yang benar-benar membuatku semangat untuk bisa mencapai kesuksesan. Tapi resikonya aku akan berpisah untuk yang kedua kalinya dengan Ryma.

"Aku mau tinggal di sana Pa. Tapi benar kan pendidikan di sana terjamin?" aku kembali bertanya untuk meyakinkan perkataan Papa.

"Kamu gak percaya sama mamamu?"

"Iya Pa aku percaya kok. Lalu kapan kita akan berangkat ke sana?" tanyaku kembali.

"Secepatnya. Kalau bisa besok sore kita sudah berada di bandara. Tiket biar Papa yang urus" tawaran Papa semakin membuatku yakin untuk mengangkat kaki dari negeri ini.

"Yaudah besok langsung aja kita prepare" aku memantapkan keputusanku.

"Nanti masalah kamu pindah sekolah besok pagi Papa datang ke sekolah untuk mengurus. Udah sana kamu tidur, jaga kesehatan" Papa meninggalkanku masuk ke kamarnya.

***

Ryma's POV

Dimana Fabian? Apa dia tidak berangkat hari ini?

Ingin sekali aku bertemu dengannya sehubungan dengan masalah kami yang telah usai. Belum genap 24 jam aku tidak bertemu Fabian tetapi hati ini sudah merasakan rindu yang mendalam.

Sudah hampir jam 7, jarang sekali Fabian berangkat siang. Ada apa dengannya? Aku harap Fabian berangkat hari ini.

Rasa ingin bertemu kian membara membakar hatiku. Tidak ada kabar darinya, yang ada hanya angin rindu yang memanggil namanya.

Dengan keresahan aku menjalani hari ini tanpa Fabian. Ingin sekali cepat pulang, rasanya begitu lama menanti bel pulang sekolah berbunyi, apalagi ini jam kosong, hampa rasanya.

***

Langit sore ini mendung rata dengan awan hitam, aku yakin malam ini tidak akan terang dan nampak indah seperti hari kemarin. Aku memutuskan untuk mencari tahu kabarnya Fabian, aku chat dia lewat BBM namun hanya ceklis, mungkin aku harus melefonnya.

Terputus. Nomernya tidak aktif, ada apa sebenarnya dengan Fabian, dia juga tidak mengirim surat izin tadi di sekolah. Cemas.

Lebih baik aku menghampiri rumahnya, tapi kenapa harus aku yang kesana? Apa hanya aku yang merasakan kerinduan ini? Tak apalah, mungkin dia sedang sakit, lebih baik sekalian aku bawakan pizza untuknya.

Sial hujan. Aku segera memakai jas hujan dan menaiki motor maticku untuk menghampiri rumahnya.

Sampailah aku di depan rumahnya. Kemana satpam yang biasa jaga rumah ini? Di tengah hujan yang semakin deras, aku mendekati gerbang itu untuk mengintip kondisi rumahnya. Aneh, di saat hujan seperti ini mengapa lampunya sama sekali tidak ada yang menyala? Kemana Fabian pergi? Aku masih berdiri sendiri di tempat ini, dengan pizza yang cuma-cuma di tanganku yang mengerut kedinginan, di tengah derasnya hujan merenung memikirkan semua tentang Fabian yang hilang bersama derasnya air hujan.

"Mau cari siapa nak?" Seorang wanita tua mengenakan payung datang mengampiriku.

"Mau nyari Fabian nek"

"Yang punya rumah ini tadi pagi saya lihat pergi bawa barang banyak. Tapi saya tidak tahu kemana" ucap nenek itu.

"Yaudah makasih nek" aku tersenyum pada nenek itu.

"Kamu pulang saja, hujannya makin deras. Nenek pergi dulu ya" nenek itu meninggalkanku.

"Iya nek" jawabku.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

***

Malam ini aku tidak ingin merasakan pilunya kerinduan ini. Aku ingin mencurahkan semua isi hati pada teman-temanku. Aku chat Ghea dan Ema untuk menemaniku malam ini, aku harap mereka mau menginap di rumahku karena kebetulan malam ini malam minggu.

Beruntung sekali mereka menerima ajakanku.

Hujan masih setia mengguyur bumi. Saat ini aku hanya ditemani oleh boneka beruang putihku, aku nyaman memeluknya.

"Kamu tau dimana Fabian? Aku resah, ingin sekali aku mengetahui kabarnya dan bertemu dengannya" aku bertanya pada bonekaku, dia mendengar tapi dia tak menjawabnya. Seringkali aku bicara dengan benda yang berada di sekitarku di saat aku rapuh, di kala tidak ada seorangpun yang ada di sisiku.

Tok.. tok.. tok..

"Masuk" aku tau itu teman-temanku.

Aku langsung memeluk mereka ketika mareka baru saja duduk di sampingku.

"Cerita Rym sama kita" Ema menatap iba wajahku.

"Iya cerita aja" bujuk Ghea.

"Lo tau kan Fabian tadi gak berangkat? Gue kira dia bakal ngasih kabar ke gue, ternyata nggak" tangis ini memotong pembicaraanku.

"Dan tadi sore gue datang ke rumahnya tapi kata tetangganya Fabian udah pergi dari pagi bawa barang banyak" aku kembali meneruskan ceritaku. Air mataku keluar, menetes di pergelangan tangan Ghea yang masih memegang sebelah pipiku.

"Terus yang bikin lo jadi gini apa Rym?" tanya Ghea.

"Paling juga dia masih liburan sama keluarganya. Udahlah Ryma, gak usah mikir yang negatif" timpal Ema.

"Pertama gue gini itu karena dia gak ngasih gue kabar sama sekali. Yang kedua, jujur gue itu kangen banget sama dia. Mungkin kemarin dia sempat bikin gue seneng itu kado perpisahan buat gue" air mataku kian deras sama seperti hujan saat ini.

"Gue yakin, gak lama dia bakal pulang. Coba deh lo pikir yang positif, lo tau perasaan dia buat lo, lo kenal dia udah lama, masih sempat lo mikir yang negatif?" kata Ghea dengan nada yang sedikit tegas.

"Kita tau perasaan lo Rym. Mungkin aja kebetulan handphonenya kena problem, atau mungkin dia bakal ngasih kejutan buat lo" Ryma meneruskan ucapan Ghea.

"Atau bahkan dia sengaja pingin tau reaksi lo saat dirinya sengaja ninggalin lo tanpa kabar. Semua itu bisa aja terjadi Rym" balas Ghea. Aku hanya terdiam.

"Kenapa harus lo mikir yang negatif kalau yang positif aja masih berharap bisa masuk ke otak lo? Lo cuma bakal kayak gini mulu, lo ngrelain waktu lo terbuang cuma buat nangis" kata Ema.

Aku menghirup ingusku dalam-dalam yang hampir mengalir keluar dari lubang hidungku.

"Udahlah Rym, Fabian gak kenapa-kenapa kok. Lo yakin deh dia baik-baik aja. Dan gue yakin dia juga sama merindukan lo di sini" Ghea tersenyum memancingku untuk berhenti menangis.

Kedua unjung bibirku terangkat mendengar itu.

"Gue laper Rym, ada makanan gak?" Ema beranjak dari tempat tidur untuk mencari makanan. Aku tahu dia sebenarnya ingin mengalihkan pikiranku agar aku tidak terus menerus memikirkan Fabian.

"Itu di atas meja ada pizza, tadi sebenernya buat Fabian. Tapi lo tau sendiri kan" aku membersihkan air mata yang masih membasahi wajahku.

"Em, bagi dong" ternyata Ghea juga kelaparan.

"Kalau kalian laper, di kulkas masih banyak roti. Ada sosis juga kalau kalian mau" tawarku.

"Ini dulu aja Rym, yang di kulkas buat stok nanti tengah malam" ucap Ghea yang masih mengunyah roti.

Senang sekali punya teman seperti mereka, mereka memang sangat jeli mencari solusi, menasehatiku ketika aku bersalah. Ema, walaupun dia lebih dekat dengan anak lain di sekolah terutama dengan anak teater namun dirinya sangat peduli padaku.

Will Not ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang