"Zane! Ayo cepat ke sini!," teriakan setengah berbisik Rocco padaku. Tangannya sudah menggenggam gagang pintu di depannya.
"Kenapa harus buru-buru? Tidak ada orang di sini 'kan." Jawabku agak kesal. Rocco memang anak yang sangat antusias akan segala hal. Aku memang sangat senang bermain dengannya, tapi terkadang dia menjadi agak menyebalkan. Contohnya adalah saat ini. Ia mengajakku, lebih tepatnya memaksaku untuk masuk ke rumah tua ini.
"Pintunya tidak dikunci," ujarnya. Ia membukanya dan masuk begitu saja tanpa rasa khawatir. Dasar bocah ceroboh! Kita tidak pernah tahu ada apa di dalam, tetapi dia menyelonong begitu saja. Aku merasa seperti maling yang tidak tahu diri masuk lewat pintu utama. Walaupun begitu, karena Rocco menarik tanganku, aku akhirnya masuk juga ke rumah jelek ini.
Baiklah, jujur saja ya. Rumah ini tidak jelek. Rumah ini hanya sudah terlalu tua untuk dibilang bagus dan terawat. Arsitekturnya seperti dibangun pada abad ke-16 bergaya Inggris. Entah bagaimana rumah ini masih berdiri sampai sekarang.
"Pelankan langkahmu! Bagaimana kalau ada yang dengar kita masuk hah?," kataku kesal melihat Rocco berjalan seperti di rumahnya sendiri.
"Apa yang kau khawatirkan, Zane? Tidak ada siapa-siapa di sini. Lihatlah. Haloooo..," teriakannya berhenti seketika aku menutup mulutnya. Aku mendengar sekilas ada suara pintu yang entah ditutup atau dibuka.
"Sssttt! Diamlah. Sepertinya ada orang di sini," ujarku ketakutan. "Ayo kita keluar."
"Keluar? Yang benar saja, kita belum menemukan apa-apa di sini. Ayo kita naik ke atas," kata Rocco sembari menunjukkan tangannya ke arah tangga mewah tidak jauh di depan kami. Malas berdebat, dengan bodohnya aku menurutinya. Oh, anak ini, sungguh menyebalkan hari ini.
Rocco menyelonong tanpa henti. Di ujung anak tangga, di sebelah kanannya terdapat sebuah pintu. Mata penasarannya tanpa ragu membawa langkah kaki kami ke sana. Ia membuka pintu itu, "Zane, lihatlah."
Tak ingin hal buruk terjadi, aku menutup pintu begitu kami masuk ke ruangan ini. Astaga, ruangan ini, ada yang aneh di sini. Benda-benda di sini sangat asing bagiku. Di sepanjang dinding terpasang rak-rak yang diletakkan botol-botol kosong di sana. Aku tidak tahu untuk apa botol kaca sebanyak itu, masih tertutup rapat, disimpan di sini.
Rocco sepertinya begitu senang. Dia seperti telah menemukan harta karun yang terpendam lama. "Zane, lihatlah lampu ini. Aneh sekali, apinya hijau. Ini keren! Aku akan mengambilnya."
"Hei, kita bukan pencuri! Lagipula itu kan cuma lampu," ujarku.
Tunggu dulu. Lampu dengan api yang menyala?
"Rocco, pasti ada orang di sini. Api itu, menurutmu akan menyala sendiri?" Kataku dengan menarik tangan Rocco.
Aku bergegas membuka pintu. Oh, tidak. Ada seseorang, sepertinya wanita bertubuh agak tinggi berjubah hitam panjang berdiri tidak jauh di depan kami. Suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh. Matanya melotot dan tangannya menunjuk ke arahku dan Rocco.
Aku dan Rocco seketika berbalik arah. Kami masuk kembali ke ruangan. Rocco mengangkat sebuah kursi dan meletakkannya tepat di depan pintu berharap bisa menghalangi wanita itu.
"Aku kan tadi sudah bilang, kita jangan masuk ke sini!," ujarku sambil menelusuri ruangan yang luas ini.
"Ini bukan waktunya berdebat, kita harus cari jalan keluar, Zane," kata Rocco sambil berjalan mengiringi dinding-dinding ruangan ini. Sementara itu, gagang pintu bergoyang-goyang, wanita itu menggedor pintu dengan keras. Sepertinya ia memukul atau menendangnya. Yang jelas, ia hendak mendobrak pintu itu.
"Ada pintu, di sini!" teriak Rocco. Seketika itu aku mengikutinya. Kami keluar lewat sebuah pintu yang tidak begitu besar yang dari tadi tertutup kain tirai.
Kami berlari di sebuah lorong yang lumayan gelap. Tidak ada penerangan kecuali berkas-berkas cahaya mengintip dari balik ventilasi-ventilasi kecil di sepanjang dinding, hingga tibalah kami di ujungnya, sebuah ruang yang luas.
Ruangan ini memiliki banyak pintu. Aku dan Rocco saling bertatapan kebingungan. Mau ke manakah kita? Sial! Dalam keadaan begini, kami malah bengong kebingungan.
Salah satu pintu terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dengan wajah yang seram dan marah keluar dari sana. Serentak kami melarikan diri.
Oh Tuhan. Tidak! Kami berlari ke arah yang berbeda. Aku dan Rocco sekarang terpisah. Aku sendiri, masuk ke dalam sebuah ruangan yang lebih aneh lagi. Kututup pintu ruangan ini dan mengganjalnya dengan sebuah tongkat sapu. Ah, betapa bodohnya aku sekarang.
Di dalam sini tidak ada kursi atau benda besar lainnya yang bisa aku gunakan untuk mengganjal pintu. Ruangan ini lebih luas dari ruangan pertama. Aku melihat ada sebuah lingkaran tergambar di lantai dengan warna merah pekat. Entahlah cat atau mungkin darah? Bau wangi kasturi begitu menyengat. Enam buah lilin menyala berada mengelilingi lingkaran itu.
Pintu terbuka. Pria besar itu berhasil mendobraknya. Sudah kuduga, begitu mudahnya. Gagang sapu tidak akan kuat menahan monster seperti dia. Aku, karena sangat terkejut dan ketakutan sampai terperanjat mundur. Aku terjatuh dengan posisi setengah duduk di lantai.
"Apa yang kau lakukan di sini, bocah tolol!" Teriaknya memekakkan telinga. Mulutku terbuka tetapi begitu kaku dan gemetaran. Aku tidak sanggup berkata-kata apa pun. Badanku merinding, yang jelas aku sangat ketakutan.
Pria itu bergerak mendekatiku. Aku menyeret kakiku semakin mundur ke belakang. Tangannya hendak menggapai leherku hingga tiba-tiba wanita tadi muncul di belakangnya.
"Hentikan Carlos!" Ia menarik jubah pria itu sehingga ia tidak jadi menarikku. Dengan tatapan anehnya, mereka hanya berdiri di hadapanku.
Tubuhku mendadak jadi kaku. Aku jatuh terlentang sempurna di atas lantai. Tangan dan kakiku tidak bisa kugerakkan. Aku bahkan tidak mampu menoleh, hanya mataku yang melirik-lirik ke sekeliling. Rupanya aku jatuh tepat di tengah lingkaran merah ini dengan enam lilin yang sama sekali tidak tersenggol. Mereka tetap menyala.
"Ini tidak boleh terjadi Amy!"
"Tapi ini terlanjur kita sudah tidak bisa mencegahnya."
"Kalau begitu, kita harus pergi sekarang. Jika tuan tahu, ia akan menghabisi kita!" Kata pria besar itu sayup-sayup terdengar olehku. Mereka keluar begitu saja. Sekarang aku benar-benar sendiri.
Pandanganku terasa semakin kabur dan gelap. Aku mendengar suara gemuruh, seperti suara angin kencang yang semakin berisik. Tolong, siapa saja tolong aku! Tidak, tidak, aku tidak bisa bersuara. Sial!
Dadaku terasa semakin sesak. Nafasku menjadi tersengal-sengal. Astaga, kenapa ini? Apa yang terjadi pada tubuhku? Dadaku sakit. Sakit seperti ditusuk-tusuk belati. Aaarrghh!
Jantungku, entahlah apa pun yang ada di dalamnya, dadaku terasa ditarik. Sangat kuat sampai punggungku terangkat. Oh Tuhan, tubuhku melayang. Aku tidak lagi merasakan dinginnya lantai.
Pandanganku gelap, hilang sama sekali.
Pendengaranku tuli.
Sekarang, entahlah, diriku ...
Tak kurasakan sesuatu pun.
***
Tbc...
Masih di awal banget nih, kasih kritik atau saran ya..
Makasih juga buat yang sudah vomment.
Oiya, satu lagi. Ada usul enaknya update setiap hari apa?
Rencanaku seminggu sekali.
![](https://img.wattpad.com/cover/91767926-288-k560175.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tormo : Terperangkap Dunia Imaginn
Fantasy"JANGAN PANGGIL AKU JIN, AKU MANUSIA!" Ketika sebagian manusia mulai tidak percaya keberadaan jin sebagai makhluk tak kasat mata dari dunia Imaginn, menurutmu bagaimana jika seorang anak manusia malah merasakannya sendiri? Menjadi seorang ji...