Loriocelas

96 13 12
                                    

Tidak bisa begini. Bagaimana hidupku setelah ini? Bagaimana pula dengan kedua orang tuaku? Tidak lama lagi mereka pasti akan mencari-cariku. Sudah tergambar dalam benakku seperti apa kehidupan kami setelah ini. Aku dan mereka terpisah alam. Kurasa, ini lebih berat bagiku karena aku masih bisa melihat mereka. Aku takut, beberapa tahun lagi mungkin mereka sudah melupakanku.

"Hei, hentikan!" Cegah Zara tiba-tiba seraya memegangi tanganku.

"Aku hanya ingin masuk ke rumahku sendiri. Apa kau juga akan melarangku?" Jawabku dengan nada tinggi. Wajar saja, aku masih sangat emosi.

" Jika kau membuka pintu ini ibumu bisa ketakutan, bodoh!" Jawabnya dengan intonasi yang ikut meninggi. "Ibumu tidak bisa melihatmu. Bagaimana menurutmu jika ia melihat pintu ini terbuka sendiri?"

Benar juga apa kata Zara. Tapi, aku sangat ingin masuk ke rumahku. Sangat ... sangat ingin! Aku ingin bertemu mereka. Mungkin aku bisa mencoba-coba sesuatu agar dapat berkomunikasi dengan mereka.

"Lalu bagaimana aku bisa masuk tanpa membuka pintu?" Tanyaku.

Zara memutar bola matanya seraya berkata, "dasar jin baru! Kita bisa menembusnya dengan sangat mudah. Lihatlah ini!"

Ia mengarahkan tangannya ke pintu lalu memasukkannya. Aku tidak salah lihat. Dengan begitu yakin aku melihat tangannya menembus pintu begitu saja. Aku terperangah memandanginya. Ini ajaib!.

"Sekarang berjalanlah masuk, santai saja," ujar Zara sembari menarik tangannya kembali.

Deg-degan rasanya. Aku menatapi pintu ini yang hanya satu langkah di hadapanku. Kaki kananku maju lebih dulu diikuti tangan kananku mencoba menembus pintu.

"Tanganku! Tanganku menembusnya!" Kataku keheranan dengan diriku sendiri.

Zara menaikkan alis kanannya menyuruh aku masuk. Kulangkahkan kaki kiriku yang kini sudah setengah menembus pintu. Kulanjutkan berjalan maju dan sekarang aku sudah di dalam rumahku. Luar biasa!

Aku berjalan ke dalam melewati ruang keluarga. Tampak ibuku sedang berada di dapur dan ayahku tengah menonton televisi. Aku juga punya seorang kakak laki-laki tiga tahun lebih tua dariku, tapi entah dia ada di mana sekarang. Mungkin dia sedang main gim di kamarnya.

"Zane Campbell, namamu aneh," Sebut Zara sambil menunjuk fotoku yang menggantung di dinding. Itu adalah foto ketika aku memenangkan lomba menulis cerita pendek tingkat sekolah tahun lalu.

"Kenapa nama-nama manusia terdengar aneh?" Tanya Zara dengan tertawa ringan.

"Apa kau tidak sadar namamu juga terdengar seperti nama manusia?" Jawabku agak sebal.

"Jadi, kau benar manusia ya? Mereka benar orang tuamu?" Tanyanya.

"Aku sudah bilang sejak awal 'kan? Aku ini manusia," jawabku seadanya.

Tak ingin hanya diam menatap ayah dan ibu, aku berjalan menuju kamarku. Aku menembusnya, kurasa sekarang aku mulai terbiasa dengan keajaiban ini. Di sini adalah tempat yang paling aku suka di rumah. Walaupun tidak luas, tapi ini sudah cukup untuk kamar anak laki-laki. Aku memang tidak butuh kasur dan lemari yang besar.

"Aduh! Ahh sakit," ujarku terjatuh sembari memegangi pantatku. Kudengar Zara tertawa cekikikan. Barusan aku hendak duduk di kasurku, tapi aku malah menembusnya. Sial! Kalau begini, aku bisa-bisa tidak akan pernah duduk di kursi atau tidur di kasur lagi.

"Kelihatannya masih banyak sekali yang harus kau pelajari, Zane." Ujar Zara. Ia kemudian duduk di kasurku.

"Curang! Kenapa kau bisa duduk di situ?" Ucapku spontan.

Tormo : Terperangkap Dunia ImaginnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang