Hari ini pagi-pagi sekali aku sudah terjaga. Ya, tentu saja aku tidak ingin kalung sialan ini tiba-tiba memanas gara-gara penyihir gila itu memanggilku. Sekarang aku berada di dapur, memeriksa isi lemari es dan persediaan bahan makanan. Kelihatannya aku harus pergi berbelanja sebelum ia mengomel karena tidak ada makanan nanti malam.
Tn. Gregory baru saja selesai mandi pagi yang hampir menyita waktu satu jam. Aku menghampirinya di taman belakang rumah, "selamat pagi, tuan. Aku baru saja mengecek isi dapur, sepertinya persediaan bahan makanan sudah menipis."
"Apa kopi dan gula juga sudah habis sampai kau tidak membuatkanku minum?," jawabnya dengan tatapan dan intonasi yang sangat menyebalkan.
Mendengar jawabannya aku menghela napas panjang dan dengan berat hati berkata, "maaf, tuan. Aku akan buatkan minuman dahulu untuk tuan."
Aku segera menuju ke dapur. Melaksanakan titah dari sang raja cerewet itu. Setiap pagiku sepertinya tidak akan punya semangat, hanya dipenuhi rasa jengkel karenanya.
"Silakan, tuan," kataku sembari menyuguhkan kopi hangat dalam sebuah cangkir porselen.
"Ini ...," ujarnya sambil menyodorkan sebuah dompet padaku. "Aku sudah mengisinya dengan uang belanja untuk satu minggu."
"Siap, tuan. Aku akan mengaturnya dengan baik," ujarku seraya menerima dompet kulit cokelat tua itu darinya.
"Kau tidak perlu menghematnya, jika kurang katakan saja padaku," ujarnya lagi dengan begitu angkuhnya. Ya, aku tahu uangnya memang seperti tidak terbatas, tapi itu semua berasal dari tangan najisnya. Ia tidak pantas tersenyum bangga macam begini.
Aku kembali ke kamarku untuk berganti pakaian. Baju yang tampak seperti pelayan restoran ini kurasa kurang cocok kupakai ke pasar swalayan. Kupikir kaus putih, jaket blazer warna cokelat dan celana chino berkelir khaki akan lebih pantas. Satu lagi hal yang kusukai di sini, koleksi sepatu yang beragam. Anehnya, semuanya pas dengan ukuran kaki pria paruh baya ini. Aku memilih sepatu bot pendek cokelat tua.
Tn. Gregory memiliki beberapa dua orang sopir. Salah satunya bernama Jack, pria yang tampak berusia kepala empat itu disuruh untuk mengantarku setiap kali aku harus keluar rumah. Ia sudah siap dalam sebuah sedan hitam yang kelihatan agak tua di depan rumah.
"Jack, apa kau sudah menunggu lama?," tanyaku.
"Tidak, aku baru saja keluar dari garasi. Sekarang akan ke mana kita?," tanyanya balik.
"Ke pasar swalayan terdekat dari sini, atau mungkin yang terbaik. Apa kau tahu?," ujarku yang masih belum mengenali daerah Westminster ini.
"Tenang saja, Tormo. Aku sudah lama bekerja di sini," jawabnya meyakinkan. Ia menyalakan mesin dan segera melaju meninggalkan rumah penyihir bawel ini.
Tidak jauh rupanya. Aku mengambil semua yang kupikir dibutuhkan dan disukai Tn. Gregory. Saking banyaknya Jack ikut membantuku menarik dua troli yang semuanya penuh. Di sini, aku melihat banyak anak-anak yang dengan gembira berjalan di antara ayah dan ibu mereka. Sebagian lagi merengek-rengek meminta sesuatu. Seketika membuatku teringat akan orang tuaku. Setelah kehilanganku yang sudah hampir satu pekan ini, aku tidak sanggup membayangkan betapa sedihnya ibuku.
Baiklah, sudah cukup melamunnya. Kami sudah berada di meja kasir dan menunggunya menghitung jumlah yang harus kubayar. Aku yakin totalnya akan mencapai ratusan atau bahkan lebih dari seribu pounds, bisa saja.
"Kurasa London sudah tidak seaman dulu lagi," kata seorang ibu berbaju merah muda yang mengantre tepat di belakangku pada wanita yang juga seusianya di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tormo : Terperangkap Dunia Imaginn
Fantasía"JANGAN PANGGIL AKU JIN, AKU MANUSIA!" Ketika sebagian manusia mulai tidak percaya keberadaan jin sebagai makhluk tak kasat mata dari dunia Imaginn, menurutmu bagaimana jika seorang anak manusia malah merasakannya sendiri? Menjadi seorang ji...