I. Badai Cahaya

121 4 11
                                    


Saat dunia dilanda bencana besar, keajaiban telah menyelamatkan Evenaar dari kehancuran. Leluhur kami percaya bahwa kehidupan akan selalu ada. Itulah satu-satunya kepastian. Ruang dan waktu silih berganti, yang abadi selalu abadi. Para pendatang sering menyebut negeri kami negeri keabadian. Mungkinkah keabadian itu berakhir?

***

Angkasa Evenaar memerah. Sebentar lagi badai cahaya menghunjam semesta. Penduduk lekas berlindung. Sebagian yang tetap melanjutkan kesibukan harus mengenakan pelindung mata dan tudung kepala. Rentetan pilar cahaya menggerus ganas. Hening tersapu deras. Apa yang kutakutkan benar terjadi, kehidupan akan terhenti. Meskipun kehidupan dan kematian selalu beriringan, tak seorang pun mengetahui cara menggerakkan kehidupan yang terhenti. Kuharap badai ini cepat berlalu.

Tanpa pikir panjang kulepas pelindung mataku seketika terdengar jeritan. Cahaya laknat itu menembus wajahku. Berulang kali kucoba memejam, tapi mataku serasa berlubang. Panas dan perih menyebar. Telingaku dijejali bising. Suaraku tercekik di tenggorokan dan tak kulihat penolongku. Bahkan seluruhnya sirna; langit, pepohonan, jalanan, dan bangunan yang berjejer bertingkat. Jiwa ragaku tercerai berai. "Antarkan ke Smaragad!" Nama tempat itu kedengaran tidak asing. Tapi siapa yang membawaku?

Smaragad, kastil beratap kubah besar kehijauan dengan menara kembar berbentuk persegi yang katanya digunakan para abbat untuk mengurung diri. Mereka yang pernah memasukinya sering menceritakan keindahan ornamen dan keajaiban bangunan itu, tapi belum pernah seorang pun menggambarkan bagaimana rupa para penghuninya. Sejak bocah, Smaragad telah membuatku penasaran. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk karena gerbang besar bangunan itu tak pernah terbuka untukku. Yang aku lakukan hanya menunggu sambil sesekali menimpuki dengan batu, tetap saja nihil. Benarkah aku di dalamnya?

Rasanya memang berbeda, yang jelas bukan di rumah. Aku terbaring pasrah dalam keadaan buta. Siapa yang membawaku ke sini? tanya batinku. Mendadak terdengar suara mengejutkan, "Selamat datang."

Siapa yang menyapaku. "Di mana ini? Kau siapa?" teriakku.

"Kau di Smaragad dan aku bukan siapa-siapa."

"Bukan siapa-siapa?" Aku mengulang. Jawaban seperti itu membuatku kesal. "Kau pasti punya nama, kan?" ujarku ketus atas sikapnya.

"Aku Romina," katanya.

"Aku Aqiel, katakan di mana aku?"

"Kalau kaukira ada di Smaragad, inilah Smaragad."

"Mengapa kaubawa aku kemari?

"Kau terluka, di sinilah tempatmu."

"Ini bukan tempatku. Aku saja tak mengenalmu. Seenaknya membawaku." Menurutku dia perempuan yang rumit.

Ingatanku memutar peristiwa badai cahaya itu. Sungguh mengenaskan. Bahkan penglihatanku harus dikorbankan, kenapa tak mati saja sekalian. "Baiklah Aqiel, mari aku tunjukkan tempat ini seperti apa." Suara itu menyadarkanku dari lamunan dan terdengar seperti hinaan.

"Percuma saja, aku tidak bisa melihat," ucapku seraya menunjuk kedua mataku.

"Kalau kau bisa mengarahkan telunjukmu, itu tandanya kau bisa. Ayo, sebentar lagi ritualnya akan dimulai." Romina menggamit lenganku.

"Ritual? Ritual macam apa?"

"Kau akan melihatnya begitu kita sampai." Entah ke mana dia mengajakku. Langkahnya tak mau berhenti. Lengannya begitu kuat menarikku. Meskipun enggan, tubuhku seperti kapas melayang kian kemari. "Nah, lihatlah!" ujarnya.

Evenaar: Sang UtusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang