VI. Antima

6 1 0
                                    

Tuan Yazed menyangka kalangan bangsawan Evenaar telah dihabisi oleh putranya. Setiap kali keluar dari persembunyian dengan menyamar, dia sering mencuri dengar cerita seputar hukuman yang ditimpakan bagi kalangan bangsawan. Dari harta yang dirampas sampai nyawa yang sengaja dihilangkan. Kadang dia bersyukur niatnya ingin disejajarkan dengan mereka tak pernah kesampaian. Andaikan saja dahulu sikapnya sedikit lembut mungkin hati putranya tak membatu seperti sekarang. Mirip ratusan kisah klasik bahwa pada akhirnya setiap orangtua akan menyesali diri sendiri, merasa iba, dan bersalah karena telah membentuk darah daging mereka menjadi seseorang yang berbeda; tak lagi dikenali dan terlebih lagi dikehendaki. Di relung gelap hatinya Yazed berdoa semoga kematian putranya nanti dapat membebaskan umat manusia.

Dia menemukan kenyataan bahwa gairah sejati putranya adalah pada kekuasaan. Sosok itu pernah dia temukan persis dalam dirinya. Tanpa mengetahui secara jelas alasannya, dia sama sekali tak menyukai hal itu. Sejak kapan buah harus jatuh dekat dengan pohonnya? Kalimat itu sungguh telah memerangkap hidup orang-orang yang akan berakhir sepertinya. Ada kebohongan yang menyejukkan dan kebenaran yang menyedihkan, semuanya tidak memberikan kebahagiaan sama sekali. Ini bukanlah waktunya memilih, ini saatnya dia meyakini bahwa hidup tidak bisa dimiliki dan dipikirkan, cukup dijalani sampai mati.

Sekujur tubuhnya berpeluh, dadanya kembang kempis berusaha menghemat udara, Lutut dan sikunya nyeri bukan main, tapi dia tetap bertahan. Meski demikian dia terus merangkak penuh semangat, entah ke mana terowongan sempit itu membawanya.

"Ha ha ha ... ha ha ha ... ha ha ha ...." terdengar tawa seseorang dengan suara berat dan dalam. Asalnya tidak jauh dari posisinya, dia melihat sepertinya ujung terowongan ini telah dekat. Yazed merangkak tergesa-gesa sehingga bagian kaki dan lengannya terluka. Pikirnya masih ada harapan untuk mengubah kekacauan dan mencegah prahara semakin besar. Suara itu kian jelas seiring tubuhnya yang terus merangkak. Kedengaran tak asing dan Yazed mengenalinya. Mirip suara Darius tapi agak aneh, tak biasanya Darius tertawa apalagi seperti orang gila.

"Semoga benar dia." Yazed mengendus, sementara bau lumut kentara di mana-mana meski tak menyurutkan niatnya merabai permukaan dinding. Banyak bekas kikisan air karena udara lembab, mungkin tadinya terowongan ini pernah digunakan sebagai jalur air. Dengan sebilah belati dia mulai mengorek tumpukan batu sampai membentuk celah udara. Dari celah itu dia tak bisa melihat apa pun karena sangat kecil. Tapi Yazed percaya bahwa di balik sana ada seseorang yang dikenalnya.

"Darius." panggilnya setengah berbisik.

"Darius." kali ini dikeraskan suaranya.

"Hei, siapa saja, jawablah." masih tak ada jawaban, Yazed memukul dinding batu berulang kali.

"Darius, jawab aku! Aku tahu kau di sana," ucapnya, "ini aku Yazed." hanya Hening.

Yazed pun tak ingin mengulangi tindakannya, dia pikir akan membahayakan jika terus dilanjutkan. Tapi sejujurnya dia takut berakhir di tempat itu seperti tikus yang mati di sarangnya sendiri. Agak berlebihan membayangkan hal itu terjadi padanya, makanya dia terus berharap hanya Darius yang mendengar panggilan itu. Sampai kemudian telinganya menangkap bisikan lemah di antara celah buatannya. "Yazed." sahut suara itu.

"Apa benar kau Yazed?"

"Yazed." sekarang dia bisa mendengar jelas dan itu jawaban menggembirakan untuknya.

"Darius, apa itu kau?"

"Ya, aku Darius. Benarkah kau di dalam?"

"Ini aku Yazed. Apa yang kau lakukan di sana?"

"Aku di penjara. Kau sendiri mengapa bisa di situ?"

"Aku terjepit di sini."

"Terjepit? Apa maksudmu?"

Evenaar: Sang UtusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang