IX. Satmata

4 1 0
                                    

Sepuluh hari berlalu sejak terjadinya pemberontakan. Rasanya seperti baru kemarin. Sebagian penduduk Evenaar sudah kembali melakukan rutinitas mereka walaupun masih resah membaurkan diri dengan pengikut Sofis yang mondar mandir di sudut kota sambil menenteng pedang, busur, dan beragam senjata lain dengan pongah. Sebisa mungkin mereka menghindari pertikaian agar tidak dituduh menentang dan berakhir dalam penjara. Mata pencaharian orang-orang berubah. Semua bergantung kepada peraturan baru. Mereka tetap berladang dan berburu, tetapi semua hasil nantinya harus dijual kepada kafilah Darzat. Sebaliknya, hanya kafilah itu yang diperbolehkan masuk dan menjual segala kebutuhan masyarakat. Setiap orang yang keluar gerbang kota harus meminta izin dan terus diawasi. Siapa pun dilarang membagi informasi tentang keadaan di dalam Evenaar. Jika ada yang mencoba kabur, pasukan pemanah berkuda telah siap untuk menjegal. Sementara itu, para tawanan yang rata-rata dulunya anggota Dewan Kota; tuan tanah dan anggota keluarga mereka, dipaksa untuk bekerja menambang batu, atau menggali parit di sekeliling kota. Sebuah pertahanan yang kokoh tengah dibangun, khawatir serangan datang tak terduga.

Kota itu menerima hadirnya anak buah Darzat setelah menjalin perjanjian. Turgimahn tak ambil pusing siapa penguasa Evenaar sekarang walau sejujurnya tak menyukai raja baru yang haus penghormatan itu. Di matanya pemuda itu tak layak menyandang gelar raja, sementara para pengikutnya bersikeras menganggap Sofis sebagai titisan langit yang ditakdirkan memerintah dunia. Akibatnya, Sofis semakin besar kepala. Di sisi lain, Turgimahn juga diuntungkan dengan adanya perjanjian itu. Bukan cuma dia yang senang, tapi juga Darzat—sahabat sekaligus saudaranya. Dulu mereka dijuluki bandit jalanan yang dermawan. Kini mereka bukan lagi bandit, tapi penguasa jalanan. Mengendalikan dua jalur perdagangan penting; pasar Mouza di Barat dan Evenaar di timur.

Di antara kegembiraan yang menggempita, terselip satu hal yang terasa mengganjal. Turgimahn menyadari dirinya dibayang-bayangi dendam kesumat adiknya sendiri. Terdengar kabar bahwa Sofis pernah kedatangan utusan dari kerajaan Suta. Raja baru itu tak menyadari salah satu dari mereka memiliki kemiripan dengannya. Namun, mata anak buah yang telah lama bersamanya tak mungkin salah. Karenanya Turgimahn yakin benar adiknya mengabdi pada penguasa kerajaan Suta.

Selama ini dia telah menutup telinganya dari cerita masa lalu. Bahkan apa pun yang diberitakan orang mengenai Harbiyoum, tak pernah dihiraukan. Tiba-tiba kini sang Adik muncul seraya menebarkan abu kematian, mau tak mau dia harus bersiap melawan. Jika memang harus menumpahkan darah, tak boleh ada yang menghalangi jalannya. Sebentar lagi impian itu akan terwujud. Impian Darzat dan dirinya, bahwa semua orang akan menghirup udara yang sama. Kedengaran naif, tapi pantas diperjuangkan.

***

Seharian terjebak di ruang sumpek itu hampir menumbangkan keduanya. Udara semakin pekat dan wajah mereka bertambah kusam. Aroma busuk menyelinap di antara gigi yang tampak jarang. Mereka tak berhenti meminumnya. Konon, diperlukan berpuluh injakan kaki telanjang untuk membuat bahan dasar minuman itu. Buah ceri yang ranum dipetik dan diperas sarinya. Terkadang langsung dilakukan setelah panen besar—beruntung kalau sempat melepas alas kaki. Tadinya cuma kedai pinggiran jalan yang menjual minuman itu, bukan di magha. Sekarang semua orang terpaksa meminumnya ketika jatah air bersih harus dihemat. Nasib magha lebih kasihan. Lowong dan amburadul. Tak lagi terisi kumpulan pemalas bertubuh tambun yang bersulang dengan gelas-gelas kristal sebelum menyesap anggur. Di pangkuan mereka gadis-gadis belia berpangku manja menyuapi potongan kecil zaitun.

Gerisik hewan pengerat mengusik perbincangan keduanya. Sesekali mereka harus menajamkan telinga, mewaspadai bunyi apa pun. Di bawah sini dan di atas sana sama tak aman. Mungkin dinding yang menyekat mereka hanya tipuan mata, sedangkan di belakangnya ribuan orang menonton drama ini sambil duduk bermalasan dan menghirup minuman yang sama. Betapa sempitnya dunia, tapi masih saja ada yang rela menempati, atau mungkin terjebak tidak ubahnya mereka berdua.

Evenaar: Sang UtusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang