IV. Anamorfosa

7 1 0
                                    

Aral hidupku berupa kubang misteri. Masa lalu terus membuntutiku nyaris di semua episode pelarianku. Bahkan, mimpi bukan lagi tempat aman untuk bersembunyi. Apa yang kulihat, kudengar, dan kurasa tak sesederhana dan seindah dulu. Kesederhanaan dan keindahan tak lain hanya ketakjuban sesaat yang membuat orang-orang bertepuk tangan. Keinginanku untuk menghilang merayap perlahan.

Di pagi hari aku berangkat dengan seekor kuda yang sangat cepat larinya di antara kuda lain. Seperti balok besar terbawa banjir deras. Tingginya lima belas jengkal, berbulu hitam, surai dan ekor lebat, kuku bulat kecil, telinga pendek dan tajam. Cuping hidung lebar, leher tegak, serta mata besar. Bersamaku pula ada lima orang, tapi baru dua yang kukenal; si Seram bernama Merdigu, dan si Bersih Tugimihn. Sejenak namanya terasa akrab mirip dengan pemimpin Kafilah Darzat. Mungkin dia sudah mati di tangan Sofis.

"Tuan Tugimihn," sapaku ketika kuda kami mulai kelelahan.

"Tuan Tugimihn." Tiru orang ketiga di belakang.

"Tuan Tugimihn." Tambah yang keempat.

"Tuan Tugimihn." Sisanya ikutan meniru. Setelah itu, mereka tertawa ngakak. Aku tahu apa yang sedang mereka lakukan, tapi aku tak mengerti bagian mana yang paling lucu. "Mengapa kalian tertawa?"

Merdigu tersenyum melihat tingkah orang-orang yang dia panggil saudara itu. Aku yakin dia sedang mabuk waktu meminum cawan persaudaraan. Itu semacam ritual kuno untuk saling mengangkat saudara dengan cara menuangkan darah ke dalam satu wadah dan meminumnya. Aku heran kenapa tidak ada yang membayangkan setan macam apa yang bersemayam di dalam darah saudaranya, tapi kadang setan dan manusia pun tak ada bedanya. Jadi, untuk apa dipersoalkan. Hanya saja ketika bersama Poenaria, aku baru tahu setan punya jenis kelamin, sedangkan malaikat tidak.

"Hei Nak, lain kali jangan memanggilku Tuan. Mereka akan mengolokmu," tegasnya menasihatiku, mungkin Tugimihn sadar betapa jengah diriku diolok-olok sepanjang perjalanan. Menjelang tengah hari kami memutuskan beristirahat. Harbiyoum sudah dekat, menurut Merdigu kami akan tiba di sana sebelum gelap.

Tempat baru dengan orang-orang berbeda. Perasaan itu terus mengaduk batinku sejak memutuskan ikut bersama mereka. Aku takut mereka menolakku dan menganiaya diriku. Gambaran cambuk berduri datang lagi, mereka memburu tak kenal lelah. Aku telah terlahir kembali, hiburku dalam hati.

"Kalian lihat Ashgar?" tanya Merdigu, lainnya mengangkat bahu, atau menggeleng sekali.

"Siapa Ashgar?" celetukku.

"Dia seekor elang."

"Elang yang cerdas," sambut Tugimihn, "tapi majikannya tak bisa memberi nama keren."

"Tepat sekali, dari dulu aku mau mengatakannya. Terima kasih mewakiliku." sahut pria ketiga.

"Sama-sama."

"Mungkin Turgimahn lebih sesuai."

"Bodoh! Berapa kali kubilang jangan sebut nama itu di hadapanku!" Tugimihn membentak pria nomor empat yang selorohnya kian menjadi-jadi.

"Tahan amarahmu, Saudaraku. Di tempat kita ada banyak nama serupa kakakmu."

"Tapi dia-lah yang dimaksud Kieghard, memangnya ada Turgimahn lain yang bodoh dan mau jadi kakaknya?" timpal pria kelima.

"Diam semua! Sudah kukatakan jangan sebut nama itu di hadapanku!" bentak Tugimihn.

"Hei sudah, sudah. Kieghard, Rotard, kalian tahu nama itu terlarang baginya, bukan?"

"Kami cuma bercanda, dia saja terlalu sensitif."

"Jareth, temukan keberadaan elangku. Aku butuh penglihatan." Si Nomor lima beranjak seraya mengeluarkan seruling dan meniupnya. Kemudian menghambur menuruni timbunan gunung pasir, aku tidak tahu yang mana karena semuanya pasir. Para saudaranya tampak sangat yakin sehingga mereka pikir tak perlu menyusul.

Evenaar: Sang UtusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang