XII. Quintessa

5 0 0
                                    

Tenda-tenda berkelepak tertiup angin, umbul-umbul dan panji-panji berkibar, tapi tak mengganggu keheningan dua orang tahanan terhormat yang masih saling mendiamkan. Mereka hanya diberi semangkuk air sementara lima puluh orang prajurit berpatroli tanpa henti. Keduanya sama-sama memikirkan jalannya peperangan, tapi tak ada yang tahu pasti bagaimana hasilnya. Pertanyaan terpenting sesungguhnya bukan soal mengapa perang ini terjadi, tapi mengapa mereka berakhir di balik jeruji dan apakah mereka saling mengkhianati satu sama lain? Karena merasa sebagai pihak yang lebih tua, akhirnya Bahamut mengalah.

"Mengapa kau membuka segel perkamen itu?" dia membuka percakapan. Fairouz menengadah, tak menjawab.

"Aku tidak tahu apakah sengaja atau tidak, tapi kau telah mengkhianatiku." lanjutnya.

"Aku tidak mengkhianatimu."

"Tapi kelalaianmu menyebabkan Dewan Taftis berhasil menemukannya. Perkamen itu harusnya kaujaga, bukan untuk kaubaca!"

"Kertas usang itu memanggilku untuk membukanya."

"Mustahil, kau hanya berusaha mengelabuiku."

"Tidak ada yang mustahil di dunia ini, perkamen itu memanggilku dan menampakkan wujudnya."

"Tulisan itu tak dapat berbicara, tapi akalmu telah sirna oleh keingintahuanmu yang begitu bernafsu."

"Bukankah akal bekerja karena keingintahuan?"

"Dan keingintahuanmu membunuhmu."

"Apa pun aku serahkan demi kerajaan ini."

"Bahkan, jika raja memintamu mengkhianatiku?"

"Bahkan, jika raja memintaku mengkhianatinya."

"Sialan, aku tidak bisa mengenalmu lagi. Kau telah dimabuk kekuasaan karena raja berhasil mencuci otakmu!"

"Berkacalah pada dirimu sendiri, Bahamut. Aku tahu apa yang kau rencanakan, kau ingin meruntuhkan kerajaan."

"Penilaianmu salah besar. Kerajaan ini akan tetap berdiri sampai kapanpun, tapi rajanya tidaklah abadi. Aku tak mau kerajaan ini mewarisi tradisi raja yang tersesat."

"Jadi, itu pendapatmu bahwa raja telah salah jalan?"

"Jika dia memang benar rajamu, entah bagaimana jadinya dirimu kalau tahu dia bukan sang Raja."

"Apa maksudmu?"

"Apa maksudku? Artikan saja sendiri menurutmu."

"Menurutku kau mencoba menipuku lagi seperti ketika kau meyakikanku untuk menjaga perkamen itu."

"Ternyata semakin kau membuktikan ketaatanmu pada raja, semakin kau memercayai apa yang dikatakan olehnya dan membuatmu semakin buta."

"Buta mata tak mesti buta hati."

"Hati seorang pengkhianat terbuat dari apa? Jangan-jangan tidak punya sama sekali."

"Tak perlu berbasa-basi, Bahamut. Pastinya kau sangat gembira jika kerajaan kita kalah dalam perang ini, tapi kau menyembunyikan sesuatu di balik itu. Kau menginginkan kebangkitan para abbat."

"Silakan tebak saja sesukamu."

"Katakan mengapa kau mengkhianati Yang Mulia, bukankah kalian bersahabat sejak dulu?"

"Aku senang melayani sahabatku, tapi sialnya bukan dorongan hati. Bukan berarti diriku tak berbudi luhur, hal ini sering menyakitiku. Seharusnya kau menepiskan itu dan lakukan saja perintahmu meski membenciku."

"Orang tua sepertimu tak pernah belajar dari masa lalu. Kehadiranmu membuat kerajaan ini terpuruk."

"Kau salah paham, Fairouz!"

Evenaar: Sang UtusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang