VIII. Nausea

9 1 0
                                    

Ikatan kasih sayang terkadang lebih dalam daripada kebencian. Naya terus bercerita soal masa kecil dan kenangan indah saat bersama ibunya walaupun di sela ocehannya terselip kekecewaan terhadap sosok perempuan yang telah mengasuhnya itu. Kami menelusuri rute pengejaran Merdigu dan Jareth. Aku dan Naya menduga tiga saudara lainnya disandera rombongan yang melintas kemarin. Kucoba menjernihkan pikiran dan mulai menelusuri penglihatanku semalam. Jika ada Abbat Khom atau Romina, pembacaanku mungkin akan lebih mudah. Kulihat langit kemerahan dilukis senja. Beberapa orang menodongkan senjata di wajah tiga orang tahanan yang berlutut dengan tangan terikat. Penglihatan itu mengejutkanku, tenggorokanku serasa tersedak air liur sendiri. Salah seorang dari mereka terus menerus berteriak sampai kulihat mulutnya berbusa. "Penggal kepalanya!" begitu hardik seorang kehan, "Mintalah ampun kepada langit atas dosa-dosamu!" mereka hanya membisu karena mengerti bukan takdir langit yang menangkap mereka.

Kulihat di atas tebing yang tinggi seseorang berdiri menatap lurus ke bawah. Aku tidak mungkin salah, orang itu Merdigu. Aku yakin dia Merdigu. "Merdigu!" aku berteriak, tetapi dia tak mendengar sementara terus berlari dengan senjata terangkat. Tekadnya menguat saat turun menuju carut-marut bebatuan yang bercampur aduk dengan biduk mengubah segala isinya menjadi buduk. Gagah berani Merdigu menyerang kerumunan itu. Pedang besarnya menyapu hunjaman pedang yang ingin melukainya. Tiba-tiba tanah di bawah mereka bergetar hebat seolah lempeng besi yang diguncangkan kedua sisinya ke kiri dan ke kanan. Sang Kehan bergumam aneh sembari mengunyah sesuatu, tetapi pertarungan itu tetap tak mau berhenti. Mereka semakin ganas menyerang Merdigu.

"Jareth!" panggil Merdigu lantang. Tak lama kemudian kudengar suara seruling bersenandung nyaring di antara dentingan pedang. Seketika kuda-kuda dan unta-unta yang tertambat tenang berubah beringas. Jareth muncul dengan kekuatannya sekaligus menambah kekacauan. Hewan-hewan itu seperti memekik karena kesakitan mendengar alunan seruling Jareth. Saking gusarnya mereka berhasil melepaskan diri dan menghambur turut bertempur. Menyeruduk dan menendang apa saja yang terlintas di hadapan. Di antaranya mengamuk berlari ke arahku. "Aqiel! Aqiel!"

"Aqiel!" aku terkesiap. Penglihatanku lenyap.

"Ada apa denganmu?"

"Oh, Naya," dadaku terasa berat dan sesak, "kejadian semalam terulang lagi."

"Rupanya kau masih mau mengungkitnya?"

"Yang kumaksud bukan soal pertengkaran kita, tetapi tentang penglihatanku."

"Kelihatannya penglihatanmu baik-baik saja."

"Ketika kau menggunakan batu itu, aku melihat gambaran kehancuran. Barusan gambaran itu datang lagi, kulihat saudaraku Merdigu dan Jareth sedang bertempur."

"Benarkah?"

"Mereka dalam bahaya dan kewalahan. Kita harus cepat menolong mereka."

"Semoga kita belum terlambat," Naya mengeluarkan batu itu, "pegang tanganku!" dia lebih dulu menggamit lenganku sebelum kuturuti perintahnya. Kulihat sulur hitam merambat menjalari tubuhku dan perlahan mengangkatku sehingga apa yang kujejak bukan lagi permukaan tanah. Dasar penyembah batu! Gerutuku begitu melihat senyumnya berseri. Mungkin jika orang lain melihat tumpanganku kali ini, mereka bisa takjub atau ketakutan. Belum tentu sulur-sulur hitam itu tertangkap mata mereka. Seperti Naya yang menganggap dirinya bisa terbang, padahal dia bingung sekali waktu aku ceritakan tentang bayangan hitam setipis sutra nan tembus pandang yang menjulai liar dari sebongkah batu dalam genggamannya bak akar tumbuhan.

Kami tiba di lembah tandus mendahului semua gambaran kekacauan yang kusaksikan melalui penglihatan. Hamparan tanah terkelupas membentuk luka menganga saking keringnya, tebing-tebing batu berdiri kokoh bagaikan dinding labirin raksasa, dan di sana-sini bebatuan besar bertebaran membentuk ruas-ruas jalur sendiri. Rasanya seperti berada di dasar jurang tatkala menyusuri kelokan demi kelokan. Terpaan angin sesekali menghempaskan pasir bercampur kerikil. Kadang jalur yang kami susuri menabrak batu besar dan mengharuskan kami memutar atau mengulang dari awal. Walaupun menjengkelkan buatku mengakui kecerdasannya, tetapi Naya telah menandai beberapa persimpangan dengan mengoyak tudung merahnya sehingga tak begitu sulit untuk kembali ke ruas lain saat menemui kebuntuan. Siapa pun yang membuat tempat ini kuanggap sudah gila. Kontur dinding tebing yang tampak bergelombang di kedua sisi demikian menghanyutkan kami, tak ada yang tahu akan ke mana jalur ini bermuara. Lambat laun tiang pancang bebatuan yang menyesakkan itu mulai berkurang. Perasaanku sedikit melega, tetapi Naya kembali berulah dengan benda ajaibnya. "Apa-apaan ini!" protesku. Baru saja dia mengulang perbuatannya seperti semalam, pandanganku terhalang bayangan hitam itu lagi, "Tenang saja, takkan ada yang melihat kita." bisik Naya.

Evenaar: Sang UtusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang