Semua ini sungguh membingungkan. Tak mudah bagiku memercayai pengakuan Thuyul. Jangankan aku, Merdigu pun menganggap ucapan penduduk pulau Thule itu seutuhnya kebohongan. Tak mungkin Pangeran Putih yang mencuri Nabidhzabib. Kalau benda itu ada di tangannya, siapa pun bisa berspekulasi bahwa orang yang menyerang Raja Waghini adalah putranya sendiri. Kemungkinan Pangeran Putih sengaja meracuni dan sekaligus menyembunyikan penawarnya, membiarkan ayahnya tersiksa dengan kesakitan luar biasa sampai benar-benar menemui ajal. Lebih mengerikan ketimbang riwayat Turgimahn, saudara kandung Tugimihn, yang berani membunuh ibunya sendiri. Merdigu makin khawatir kalau Pangeran Putih dan Rahab ternyata bersekongkol untuk menggulingkan Yang Mulia. Akan tetapi, yang buatku heran mengapa sampai hati dia, atau keduanya, melakukan itu. Padahal, posisi Pangeran adalah putra mahkota yang kelak mewariskan takhta kerajaan Suta.
"Satu-satunya cara mengetahuinya adalah kembali ke Harbiyoum." kata Merdigu.
"Oh, tidak. Bagaimana kalau kita tak mendapatkan apa yang diperintahkan Tuan Aghani, bagaimana jika Rahab mengadang kita? Mata-matanya ada di tiap sudut kota."
"Kau takut dengan mereka? Kau bukan Tugimihn yang kukenal pantang menyerah."
"Aku memang tak mudah menyerah, tapi tak mau mati konyol. Jelas bahwa kita kalah jumlah."
"Kita selalu kalah jumlah, tapi kita tak pernah takut. Mengapa sekarang keberanianmu surut?"
"Kauingin kita masuk ke sana berjalan santai seolah tak ada bahaya yang mengancam? Itu namanya bunuh diri."
"Berapa kali kau jumpai kematian? Berapa kali pula kau bangkit? Astaga, Tugimihn. Kau kelihatan bodoh."
"Aku bodoh, tapi tidak pernah ceroboh sepertimu."
"Ceroboh katamu? Hati-hati dengan ucapanmu."
"Kenapa, kau takut mengakuinya? Kalau bukan karena kecerobohanmu, tak satu pun dari kita yang mati."
"Jadi kau menuduh semua ini salahku? Baiklah, aku bisa pergi sendiri dan kau, terserah, bukan urusanku."
"Hei, sudahlah. Kalian seperti anak kecil!"
"Tak perlu ikut campur, Jareth. Kau bebas ke manapun kaumau. Tugas kita sudah selesai. Setidaknya, untuk kalian, tapi tidak untukku."
"Kaubisa ikut dengan si Penggila perang itu."
"Begini saja, kita pergi bersama ke Harbiyoum. Akan kucari caranya agar kita tidak ketahuan mata-mata Rahab."
Adegan pertengkaran itu akhirnya berhenti dan pemenangnya menurutku adalah Jareth, sekilas dia cocok menggantikan posisi Merdigu. Jika harus kembali ke Harbiyoum rasanya tubuhku belum sanggup menempuh perjalanan jauh. "Bagaimana caranya menembus Lembah Pertukaran?" tiba-tiba aku teringat kejadian mengerikan di sana dan sepertinya pertanyaanku mengejutkan mereka.
"Jika bukan karena perempuan itu, kita takkan begini jadinya. Ini semua salahnya." tunjuk Tugimihn pada Naya.
"Ya ampun, mulai lagi deh." keluh Naya. Mungkin aku sepakat dengannya kalau dia mau jujur mengatakan bahwa kelakuan orang dewasa hanya bisa saling menyalahkan.
"Kalian bisa meminta Tuan Balzabub memunculkan kalian langsung di Harbiyoum, dia bisa melakukan itu pada dirinya sendiri, atau memperbesar ukuran burungmu ... eh ... maksudku elang yang membawa kita kemari."
"Aku kapok naik Ashgar lagi." ujarku, lantas mereka langsung beralih kepada Tuan Balzabub. "Aku tidak bisa, tidak tahu caranya bagaimana membawa kalian ke sana, itu hanya untukku ... ya ampun, hmmm ... hanya para abbat yang bisa melakukannya. Sulit menjelaskan itu pada kalian."
"Kau bukan abbat, tapi bisa menghilang dan muncul sesuka hatimu. Bagaimana caranya?"
"Kemampuan itu diberikan, seperti halnya hadiah, karena aku telah melayani tuanku dengan baik dan aku berniat kembali ke pulau Jannu untuk mencari bahan-bahan pembuat Nabidhzabib. Butuh waktu lama tentunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Evenaar: Sang Utusan
AventuraBerlatar belakang dunia imajinasi yang menceritakan tentang perjalanan seorang remaja bernama Aqiel yang terjebak di antara perang antarkerajaan. Evenaar adalah sebuah kota yang dahulu kala menjadi bagian dari Gargiria. Kemudian bangsa ini terpecah...