X. Absolum

9 1 0
                                    

Evenaar dalam keadaan siaga perang. Balok demi balok disusun sebagai pondasi bebatuan. Dinding kota ditinggikan dan menara penjagaan dilengkapi pemanah-pemanah ulung. Tonggak-tonggak kayu setinggi 1 kama berjajar terpancang di dalam parit. Kepulan asap membubung tinggi dari perapian. Pandai besi berjuang memenuhi kebutuhan senjata pasukan. Siang malam dentuman godam menghunjam. Masyarakat belajar untuk menghadapi situasi itu dengan wajar. Tak mungkin mereka meneriakkan keberatan, tidak pula mengusik rencana raja baru yang ingin memenangkan pertempuran. Mereka berusaha memahami ambisi sang Raja yang ingin menyatukan kembali bangsa Gargiria. Tak lama lagi upacara penyucian kota akan dilakukan. Setiap hari doa disenandungkan. Apa pun itu, yang diharapkan jatuh dari langit benarlah anugerah dan bukan malapetaka. Mimpi besar membutuhkan kemauan dan kepemimpinan yang luar biasa. Rasanya hanya dapat tercapai apabila langit merestui.

Menjelang hari pelaksanaan upacara, sepertinya situasi tak menentu kembali terulang. Hewan suci yang akan dikorbankan belum lagi didapatkan. Bedanya kali ini masyarakat tak dapat berbondong memprotes di halaman gedung Dewan Kota—bangunan itu diubah fungsi menjadi barak. Kecemasan mulai tampak di wajah sang Raja. Setidaknya yang dapat dibaca oleh Turgimahn. Raja meminta ulat sutra milik kerajaan Suta sebagai syarat persekutuan. Dirinya sangat mengetahui betapa mustahilnya permintaan tersebut. Kerajinan sutra adalah mata pencaharian utama orang-orang Harbiyoum; dari mulai beternak ulat sutra, memintal benangnya, dan menenun kainnya. Mereka pasti akan mempertimbangkan ulang perjanjian damai dan persekutuan ini, alih-alih malah tertarik untuk berperang.

Mungkin perang memang harus terjadi. Jauh hari Darzat telah meramalkan, perang besar bisa berkobar lagi. Betapa mudahnya sehingga cukup diawali dari pertikaian atas sesuatu yang tampak remeh, yakni tradisi. Sering kali tradisi dilupakan, meski dalam kehidupan manusia pengaruhnya sangat dahsyat. Tatkala ada yang mencoba merobohkan, barulah semuanya kelabakan dan sesumbar akan membela hingga tetes darah penghabisan. Namun, tidak tepat waktunya jika sekarang dia bersikap menghakimi. Suatu hari nanti siapa saja orangnya akan menyadari bahwa peperangan memang dibutuhkan untuk memperbaiki keseimbangan di muka bumi. Setiap jalan pasti berujung dan tiada perjalanan tanpa akhir. Tugasnya cuma memastikan semua rencana berjalan mulus. Karena itu, sengaja Turgimahn menghampiri Sofis yang termenung muram di atas singgasananya. Sang Raja tak boleh dibiarkan bimbang meragu.

"Yang Mulia kelihatan kurang sehat hari ini."

"Oh," sedikit terkejut, Sofis mendongak. Turgimahn terlampau jangkung bagi pandangannya. "mengapa kau menanyakannya, Tuan Turgimahn?" posisi begitu terkesan berseberangan dengan kepatutan. Turgimahn pun cepat menyadari dan buru-buru bersimpuh di hadapan sang Raja. "Saya khawatir kesehatan Anda terganggu."

"Seorang abbat tak mungkin sakit, tapi ada satu hal yang memang mengganggu. Aku tak tahu di mana keberadaan ayahku. Mustahil jika dia melarikan diri."

"Apakah Anda telah memerintahkan seseorang untuk mencarinya? Bisa jadi dia bersembunyi."

"Pengikutku mencarinya di seluruh tempat. Nihil."

"Mengapa Yang Mulia tetap mencarinya? Bukankah dia juga menentang Anda?"

"Aku ingin menunjukkan kepada rakyatku bahwa hukum ditegakkan tak pandang bulu. Biarpun dia seorang ayah, aku sendiri yang akan mencabut nyawanya."

"Mungkinkah setiap anak menginginkan kematian orangtuanya?"

"Kau bertanya soal kemungkinan, Tuan Turgimahn. Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Akan tetapi, kalau kau mempersoalkan masuk akal dan tidaknya, aku mempunyai kisah menarik untuk menjelaskannya padamu."

"Kisah, Yang Mulia?"

"Ya, datang dari masa lalu. Tentang seorang anak yang membunuh ibunya sendiri sehingga membikin ayahnya gila. Aku tidak mengerti jalan pikiran anak itu, mungkin dia merasa tertekan dengan kondisi keluarganya yang dipenuhi kebohongan, kecemburuan, dan kemunafikan. Karenanya dia menjadi marah meski amarah itu tersimpan rapi dalam kotak misterinya. Setiap anak mempunyai rahasianya masing-masing, kuyakin kau pernah mendengar ungkapan itu di suatu tempat. Yang mengesankan bagiku—dan juga ironis, dia rela menelantarkan adiknya, satu-satunya keluarga tersisa, demi mengikat persaudaraan dengan orang lain yang notabene tidaklah sedarah. Sangat menginspirasi!" kisah yang dituturkan raja baru itu langsung menohok dirinya. Kotak misterius dalam benaknya tengah digulingkan paksa agar terbuka. "Apa yang Anda maksud 'sangat menginspirasi' itu, Yang Mulia?"

Evenaar: Sang UtusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang