Dhea mengerjapkan matanya yang belum seutuhnya mau untuk terbuka, tapi waktu sudah menunjukkan pukul 6 tepat. Dhea merutuki dirinya, seharusnya ia tidak tidur sehabis sholat tadi. Sekarang ia harus terburu-buru untuk siap-siap ke sekolah. Padahal sekolahnya terkenal dengan ketatnya aturan. Siswa tidak dibenarkan untuk terlambat.
Pukul 06.30 Dhea berangkat bersama Resha yang sudah menunggunya sejak tadi, dengan sepotong roti di mulutnya dan sekotak susu di tangan kanannya Dhea berjalan ke arah garasi. Resha duduk manis di atas motornya yang menunggu adik kecilnya. Dhea tanpa ba-bi-bu langsung naik ke atas motor Resha, tidak ingin memerlambat Resha melajukan motornya ke sekolah yang jaraknya bisa di tempuh dengan waktu 15 menit.
Tepat bel masuk berdering, mereka sampai di halaman sekolah. Sekolah mereka juga tidak memerbolehkan siswanya untuk membawa kendaraan, karena belum cukup umur untuk mempunyai SIM. Resha memarkirkan motornya di garasi rumah temannya yang dekat dengan sekolah, kemudian berjalan untuk sampai ke sekolah.
Brukk...
Seorang anak laki-laki menyenggol bahu Dhea dari arah belakang, kemudian anak laki-laki itu berhenti dan meminta maaf. Anak lelaki itu melihat siapa yang ditabraknya.
"Eh, Dhea! Maaf ya, Dhe." ucapnya. Dhea menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman.
"Lo mau ke kelas? Bareng aja gimana?" tanyanya menawarkan.
"Iya, boleh." jawab Dhea. Mereka berjalan santai, padahal bel masuk sudah berbunyi. Sambil berjalan mereka bercerita sedikit tentang kelas mereka, wali kelas, teman di kelas dan masih banyak hal yang Dhea ketahui sekarang.
Deva ternyata sekelas dengan Dewa, kelas mereka bersebelahan tapi Dhea tidak sadar ada anak baru. Ia sangat cuek, bahkan jika ada gempa bumi pun dia hanya berjalan santai waktu dulu, sampai Dewa menarik lengan Dhea untuk mengajaknya lari. Jadi tak heran jika ada anak baru ia tak tahu.
Selama pelajaran berlangsung Dhea hanya fokus pandangi buku tapi pikirannya sudah berkeliaran ke kelas sebelah.
"Dhea,"
Dhea menjawab seseorang yang menyebutkan namanya, tapi pikirannya masih berkeliaran. Sesorang itu memanggil namanya tiga kali. Pikirnya itu Deva yang memanggil. Dhea mengukir senyuman di bibirnya itu sambil memejamkan matanya. Orang itu memanggil lagi tapi nadanya sedikit naik. Dhea tersadar dari alam bawah sadarnya.
"Apa yang kamu pikirkan, Dhea Safira?!"ucap Pak Kumis–guru matematika–Dhea tersenyum melihat pak Kumis dengan wajah tanpa dosanya.
"Kerjakan tiga soal di depan!" perintah pak Kumis. Dhea langsung berdiri dan mengerjakan soal yang ada di papan tulis. Dhea beruntung karena sudah belajar materi peluang di lesnya, dengan mudah Dhea mengerjakan tiga buah soal tersebut.
Setelah mengerjakan soal bertepatan dengan bunyi bel pergantian jam pelajaran. dhea menutup spidol dan meletakkannya di atas meja guru.
"Kumpulkan PR kalian!" perintah pak Kumis. Semua murid meletakkan buku PR mereka di meja guru, "Dhea bantu bapak bawakan buku ini ya!" lanjut pak Kumis, Dhea hanya mengangguk dan membawa buku yang cukup berat tersebut.
Dari arah berlawanan Dhea melihat Deva dan Dewa yang sedang berjalan dengan minuman di tangan mereka. Dewa teriak memanggil Dhea, gadis itu menggelengkan kepalanya. Siapa sangka Dewa sang pentolan sekolah, yang biasanya kalem dan cuek di hadapan semua siswi, berkelakuan konyol di depan Dhea. Gadis itu hanya tertawa saat melihat Dewa yang berjoget konyol di hadapannya.
"Apaan sih, Wa! Mending lo bantuin gue bawa nih buku."
"Baru aja ngantar buku, Dhe." keluh Dewa.
"Yaudah, aku aja yang bantuin." tawar Deva yang mengambil sebagian buku yan di bawa oleh Dhea.
"Eh, gak usah, Dev. Ntar repot." sanggahnya, namun tak di dengar oleh Deva. Lelaki itu malah berjalan ke arah ruang guru yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi. Dewa meninggalkan mereka berdua, ia langaung balik ke kelas.
"Gara-gara si kunyuk, jadi kamu yang bawain!" rutuknya. Deva yang mendengar itu cuma tersenyum dengan makna tersirat.
"Kamu sama Dewa udah akrab banget?" tanya Deva memecah keheningan.
"Udah dari kecil sih, kenapa emang?"
"Oh, engga. Habisnya kalian deket banget kaya orang pacaran."
"Ah, Dewa itu mana pernah punya pacar."
"Masa?"
"Kok gak yakin gitu sih, Dev? Kamu suka Dewa?"
"Kok? Haha aku masih normal kali, Dhe. Aku denger sih anak kelas banyak yang suka sama dia."
Dhea mengangguk paham apa yang dimaksud oleh Deva, Dewa itu sahabatnya yang paling berharga baginya. Baik Dewa maupun Dhea belum pernah punya pacar, karena mereka selalu berpendapat kalau pacaran, nantinya mereka tidak bisa main sama-sama, jalan sama-sama, dan menghabiskan waktu seperti saat ini. Dhea menjelaskan semua alasan Dewa yang sampai sekarang belum pernah punya pacar.
Dewa pernah dekat dengan temannya Resha, namanya Intan. Dewa sering mengirim pesan untuk Intan, tapi lama kelamaan Intan banyak mengatur Dewa, sampai saat di mana Dhea terkena demam berdarah dan harus di rawat di rumah sakit. Intan tidak memerbolehkan Dewa untuk menjaga Dhea yang sendiri di rumah sakit.
Waktu itu, posisinya Resha sedang ikut turnamen futsal di Palembang karena memenangkan futsal antar Provinsi dan sampai di babak final yang mengharuskan Resha berangkat ke Palembang. Dewa yang bertugas menjaga Dhea, tapi karena Intan yang egois, Dewa jadi tidak bersimpati lagi padanya dan meninggalkan Intan begitu saja. Dewa juga tidak memberi status kejelasan pada Intan.
Sejak saat itu, Dewa belum pernah dekat dengan gadis manapun sampai saat ini. Sekolah juga menjadi alasan untuk Dewa yang tidak ingin berpacaran.
Dhea bercerita panjang lebar, sampai lupa waktu. Kelas Dhea memang sedang kosong tidak ada guru, tapi Deva malah bolos dan duduk di perpustakaan sekarang bersama Dhea. Dewa yang sudah masuk kelas sejak tadi terjebak di dalam kelas dengan guru killer.
🍁🍁🍁🍁🍁
Penampakan Dewa dan Dhea waktu masih kecil, mereka satu SD.
KLIK BINTANG DAN KETIK DI KOLOM KOMENTAR.
Minggu, 09 April 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith [Revisi]
Teen FictionDhea, gadis cuek yang pernah patah hati. Seakan tidak mau mengenal apalagi itu cinta, selalu menghindari cinta. Dan menentang keras perasaan yang tiba-tiba muncul ketika bertemu dengan seorang Erlangga Prasetya. Seketika, dinding kokoh yang dhea ban...