Pagi ini Selly berangkat dengan Dion. Sementara Sella, dia tadi pagi dijemput oleh Reza. Suasana dalam mobil sangat sunyi. Selly yang pendiam, ditambah dengan Dion yang tengah fokus menghadap jalan.
Saat di depan terlihat mobil yang tengah bertumpuk, Dion berdecak sebal. Mereka terkena macet.
"Gimana ini? Kita tungguin macet apa ganti naik angkutan umum aja?" Tanya Dion menawarkan Selly.
Selly berpikir sejenak, lalu melirik jam tangannya. Masih kurang dua puluh lima menit-an gerbang sekolahnya itu ditutup.
"Emang macet di sini ngabisin berapa menit?" Tanya Selly.
"Dua puluh menit-an paling"
"Kalo kita nunggu macet, pasti nggak keburu." Selly berhenti sekejap. "Tapi kalo kita naik angkutan umum, kita harus jalan kaki buat nyari dulu. Terus mobil kamu gimana?"
"Kalo masalah mobil gue, tinggal panggil orang rumah aja. Nanti gue suruh nganterin ke sekolah." Jawab Dion santai.
"Terus sekarang kita gimana?"
Dion memikirkan pertanyaan Selly itu. Dia menimbang-nimbangkan keputusan yang akan dikeluarkannya di dalam otak dengan matang-matang. Karena kini ia sedang bersama Selly. Andai ia tak bersama Selly, pasti ia rela menunggu macet walaupun harus telat untuk ke sekolah.
"Kita naik angkutan umum. Atau nggak, kita naik ojek aja"
"Oke"
"Jangan lupa bawa barang lo" peringat Dion dengan membuka seatbelt nya dan kemudian keluar dari mobil.
Selly mengikuti Dion yang keluar dari mobil dengan membawa tasnya. Lalu mereka berdua berjalan bersama untuk menepi di trotoar. Tak jauh dari tempat mereka turun, terdapat sebuah pangkalan ojek.
"Tu ada ojek. Buruan kita ke sana. Sebelum ada yang mau naik" Dion mengatakan itu karena tukang ojek yang ada di pangkalan itu hanya ada dua motor. Dan kalau salah satu atau keduanya dari mereka telah dinaiki orang, itu artinya mereka berdua harus menunggu lagi.
Dengan spontan, Dion menarik tangan Selly dan kemudian berlari menuju pangkalan ojek. Jantung Selly yang berdegup kencang, membuat otaknya juga berkeliaran tak karuan. Jadi, Selly hanya mengikuti langkah Dion saja.
Sesampainya di pangkalan ojek, Dion langsung menghampiri salah satu tukang ojek. Tanpa melepaskan genggaman tangannya kepada Selly.
"Bisa nganter kita kan, Pak?" Tanya Dion.
"Iya, bisa Den. Mau pake dua ojek atau satu aja?"
"Dua. Tapi saya yang bawa motornya. "
"Maksudnya, Den?" Tanya tukang ojek itu tak mengerti dengan jawaban Dion.
"Jadi saya bawa motor bapak sama temen saya. Terus bapak naik motor sendiri sama temen bapak."
Tukang ojek itu terdiam. Sepertinya dia memikirkan sesuatu.
Karena tak dapat jawaban dari si tukang ojek, Dion pun mengeluarkan suara lagi. "Saya akan bayar dua-duanya. Dan kalo bapak masih kurang, saya akan bayar lebih."
Dengan anggukan antusias, tukang ojek itu menyetujui perkataan Dion.
Dion pun melepaskan genggamannya yang tadi menyatu dengan Selly. Lalu ia mengambil alih motor yang di berikan oleh tukang ojek.
"Ayo naik" kata Dion.
Selly pun hanya menuruti perintah Dion itu.
Tak sampai seperempat jam, mereka berdua telah tiba di gerbang sekolah. Diikuti oleh kedua tukang ojek yabg sedang berboncengan. Dion lalu menyerahkan kunci motor beserta ongkos kepada tukang ojek itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENCE
Teen FictionJika kita memiliki persamaan dengan orang lain, maka kita akan sangat mudah untuk bersamanya. Bersama dalam hal apapun. Tapi ketika kita memiliki sebuah perbedaan dengan seseorang, apalagi perbedaan keyakinan. Hal itu seperti menjadi sebuah pondasi...