Dejavu (revisi)

77 20 10
                                    

Sinar matahari sudah menembus ke sela-sela jendela kamar sekarang dan membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata untuk membiasakan dengan cahaya yang memaksa masuk. Ternyata pagi datang begitu cepat, cahayanya seolah mengucapkan kata 'hallo' padaku.

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, mencari sosok keberadaannya yang menemaniku akhir-akhir ini. Ternyata aku terbangun dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Dimana ada kasur untuk ku tempati, tapi justru aku malah tertidur diatas lantai yang dingin. Bahkan rasa dingin itu merasuk ke setiap tulang dan seakan membekukannya.

Bulan ini memang bulan untuk koloni hujan berturunan. Disekitar rumah penuh dengan genangan air, membuat para pejalan kaki sedikit kesulitan untuk melaluinya. Dan aku menyadari sesuatu saat melihat itu semua dan dapat menyimpulkan bahwa dari semua fakta yang ku ketahui selama ini, hanya dialah fakta yang tak kuketahui kenyataannya.

KREK

Suara benda bergesekan itu mulai terdengar lagi. Gesekan tiap atom yang membentuk zat berwarna putih dengan media alas yang berwarna hitam. Tak ada siapa-siapa disini. Hanya ada aku, tikus, kucing, dan masih banyak lagi hewan jelata yang menemaniku disini. Sesuai dengan keadaanku yang sebenarnya. Jelata dan tak layak.

Ingin aku menyalahi takdir yang menyebabkan semua ini. Uang menyebabkan aku bertemu dengan mereka yang memberi kebahagiaan semu.

Andai jika aku tak berlari menyusuri lorong rumah yang selalu ayah larang, mungkin aku tak akan berada disini. Semua itu salahku, salahku yang menguak semua ini.

Sore itu aku bermain ditaman belakang rumah milik keluargaku. Disana adalah tempat kesukaanku, luas dan rindang sejauh mata memandang. Menunggu teman ku yang berjanji akan bermain kerumah dan memperlihatkan mainan barunya lah alasan aku berdiam diri disana lebih lama.

Satu jam...

Dua jam...

Temanku tak kunjung datang, aku yang memang pada dasarnya tak suka dibuat menunggu memutuskan untuk meninggalkan taman.

Sampai suatu ketika aku melihat kelinci yang berlari dihadapanku.

"Wah~" ucapku sambil mengejarnya. Ingin tahu dari mana asal kelinci itu.

"Tunggu!" aku mengejarnya seraya tak henti-hentinya meneriakki kelinci itu untuk berhenti.

Tapi sepertinya telinga kelinci yang panjang itu tak mendengarkanku, ia lebih memilih berlari dan menjauh saat aku dekati. Mungkin kelinci itu menginginkan sayur.

Aku berlari dengan cepat menuju dapur dan mengambil sayuran yang tersedia dengan lengkapnya di jajaran paling atas rak kaca. Aku berjinjit untuk mengambilnya karena tinggi badanku tidaklah cukup untuk menjangkaunya.

'kurasa aku butuh kursi' batinku.

Tapi disekitar sini tak ada kursi yang bisa diandalkan.

Hanya saja aku bisa melihat pintu yang sepertinya adalah pintu gudang. Aku melangkahkan kakiku menyusuri tempat itu, sampai telat ku sadari aku telah melanggar janjiku pada Ayah. 

Intuition of Love (to me youre real)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang