Diatas ada lagu yang menurut aku pas bngt sama part yg ini. Baca sambil dengerin lagunya ya...
Terakhir... Aku males ngedit, entar aja kalo dah selesai aku edit semuanya langsung. Oke?HAPPY READING....
...
Kami menikmati makanan yang sudah tersedia diatas meja bundar besar. Sengaja kami tidak memilih duduk terpisah karena berada disatu meja seperti ini membuat rasa kekeluargaan menjadi lebih kental.
"Coba kau bilang dari tadi kalau mau kesini. Pasti akan kujemput." ujar Lukman menggebu dengan sendok ditangan kanan.
"Tak usah repot-repot." jawab Lusi singkat. Terlihat sekali keduanya sudah kenal lama, ya paling tidak mereka sudah banyak tau tentang masing-masing. Perkiraanku begitu.
Kevin menyikut Lukman bertepatan dengan mulutnya yang hendak terbuka, Kevin membalas tatapan Lukman tak kalah tajam sambil menunjuk Rendi dengan dagu.
Lukman paham, kemudian mengurungkan niat untuk berbicara lebih banyak lagi.Aku lihat Rendi terkekeh melihat Lukman yang tiba-tiba bungkam seakan baru menyadari sesuatu. Mataku dan matanya bertemu saat aku masih memperhatikannya.
Daripada malu aku lebih pada terkejut. Apalagi tatapannya yang tiba-tiba membuatku sulit untuk berkutik meski sejenak. Setelah itu, aku memilih untuk melanjutkan makanku. Tapi baru saja satu suap, bahkan makanan masih kukunyah, pintu caffe terbuka. Lagi-lagi aku tak berkutik, bahkan ini lebih lama dari yang tadi.
Lidahku kelu, tubuhku berkeringat dingin, ditambah hati yang tiba-tiba sakit membuatku tak sanggup berpikir logis. Apa yang sedang aku lihat sekarang ini benar-benar diluar dugaanku.
Laki-laki dengan perawakan tegap yang seratus persen menyerupai Adnan kini tengah berjalan ke arah kami. Aku melirik Rendi, namun kali ini dia tak menyadarinya. Aku juga melihat mereka semua, tak terkecuali Lusi. Mereka yang notabene sudah lama bekerja disini sepertinya kenal betul siapa lelaki yang sedang ada dihadapan mereka sekarang. Karena sedetik setelah lelaki itu sampai di meja kami, semuanya berdiri dan menunduk hormat. Setelahnya senyum kebahagiaan terpatri diwajah masing-masing.
"Kukira Kakak tidak jadi kesini, hampir saja aku membatalkan pestanya." Rendi merangkul lelaki yang disebutnya Kakak itu sambil tersenyum lebar.
"Syukurlah kau sudah sehat, Pak. Selamat datang kembali." ujar Anis tak kalah semangat. Sisanyapun melakukan hal yang sama.
Senang, haru, sedih, semua rasa itu sudah siap meledak andai saja aku tak bisa mengendalikan diri. Bolehkah aku berharap kau masih mengingatku, Adnan?
"Yuna..." aku mendengar suara lirih tengah menyebut namaku. Aku diam, masih termenung ditempat. Selagi jantungku yang bertalu lebih cepat, lidahku kelu. Kini aku butuh waktu untuk mempercayai semuanya.
Degup kuat didada dan liquid bening tak bisa kubendung lagi. Membuatku mau tak mau mati-matian menutupinya dengan menghindar. Bukan untuk menghilang, tapi pergi.
Aku mendengar semua orang tengah memanggil-manggil namaku, tak terkecuali Rendi. Dibanding yang lain, dia lebih cekatan untuk mengejarku dan mencekal tangan yang sedari tadi terasa kebas dan dingin.
"Ada apa?" tanyanya. Aku tak merespon melainkan hanya menggeleng. Rendi memaksa agar aku bicara dengan menarikku lebih dekat padanya. Tapi aku tak bisa, lebih tepatnya belum bisa.
...
Dimalam yang ramai aku berjalan dengan rasa sepi. Kedatangannya yang tiba-tiba mampu membuatku tak karuan. Belum lagi, tentang mereka yang mengenalnya masih terngiang.
Aku memperbaiki letak tas selendang yang kupakai, tangan yang satunya lagi kugunakan untuk menenteng sepatu. Pandangan sekitar kuhiraukan begitu saja, masa bodoh dengan pendapat orang. Mereka tak seharusnya memikirkan urusan orang lain. Entah bagaimana bisa disaat hatiku tak karuan tiba-tiba aku jadi teringat keadaan saat itu, yang sama persis seperti ini. Membuatku jadi ingat tentang dia dan kisahnya. Lagi-lagi dadaku seperti dihantam benda berat.
Aku tidak menangis, tapi aku bersedih. Entah untuk apa aku bersedih, tapi sepertinya untuk dia. Aku sakit setiap tahu aku tak bisa memperkenalkan diri sebagai orang yang dicintainya. Dan aku lebih sakit saat tahu pasti dia tidak akan mengenalku lagi, karena dia melupakannya.
Meski sedikit, rasa senang memang ada. Hanya saja sedang tertelan duka karena kita akan menjadi asing. Apa aku egois? Tentu tidak. Aku hanya tidak terima. Namun tak ada yang bisa kuperbuat selain diam dan menerima.
Satu gelas dengan ukuran besar berisikan air itu sudah kuminum habis guna menenangkan pikiran. Tapi ternyata tak bisa, karena kakiku justru menjadi lemas dan membuat tubuhku terduduk. Aku rindu dia... Aku rindu Adnan yang akan menenangkanku disaat seperti ini. Aku rindu tatapan hangatnya, bukan tatapan asing seperti itu. Aku ingin dia disini, bukan disana yang menganggapku bukan siapa-siapa.
Setelah cukup lama menangis, sekarang aku lapar. Mengingat tadi aku tidak menghabiskan makanan lezat itu membuatku sedikit menyesal. Aku ingin mengulang waktu dimana aku yang sudah kenyang, baru melihatnya. Bukan aku yang baru makan sesuap lalu terpotong dengan kehadirannya. Aku menendang kerikil kesal.
Ditengah malam seperti ini aku harus keluar untuk mencari makan, dan paginya aku harus bekerja. Selain itu, mereka pasti sudah membuat daftar pertanyaan yang panjang untuk kujawab karena pergi begitu saja. Kalau begitu aku akan pakai masker dan headset saja besok.
Saat memasuki mini market aku disapa oleh petugasnya, tapi saat aku mencari makanan murah dan praktis, mereka tak menunjukkannya. Sial. Tapi aku tak bodoh, aku sudah mencari tahu dimana makanan itu berada. Rak sebelah barat.
Kebetulan sekali aku dapat rasa kaldu ayam, jadi dengan begitu aku bisa makan mie rasa kesukaanku. Setelah mencari tempat yang pas, akhirnya aku menemukannya. Tempat itu berada dekat jendela, bahkan dibuat menghadap langsung keluar jendela dengan tempat air panas disisinya. Jadi tak perlu repot-repot memasak air panas untuk menyiapkan mie instan dalam cup ini, cukup tuangkan dan tunggu.
Aromanya menguar kuat di indra penciumanku, menimbulkan respon mendadak dari perut. Tak perlu waktu lama akhirnya mie itu sampai diperut. Makan mie dengan kuah panas memang pas disaat cuaca seperti ini. Apalagi ini tengah malam.
"Jangan terlalu banyak makan mie instan." suapan kelima tertahan diudara begitu saja.
"Kau?!" aku terkejut dan refleks melepaskan garpu ditanganku. Sedangkan mie yang panjang masih menggantung dumulutku. Dan juga... Kenapa tiba-tiba aku lupa cara menelan mie?
Author : Maaf yang ini pendek.
Lukman : Gak asik banget sih!
Author : Yeee dikira nulis gampang apa?
Lukman : Ya calm thor! Kok ngegas sih?
Author : Hehe sorry ke gas mzz 😂Voment yuuukk 😗

KAMU SEDANG MEMBACA
Intuition of Love (to me youre real)
Chick-Lit"Saat nanti kau tak ingat wajahku, suaraku, sifatku atau rasaku, aku memang tersakiti. Namun ketahuilah diatas semua itu ada yang lebih menyakitkan, yaitu saat tak ada ceritaku dalam kenanganmu." - Yuna Ini adalah kisah Yuna yang selalu bertanya p...