Awal Perpisahan (revisi)

34 11 9
                                    

Kelak, kau hanya akan diam dan melewatiku begitu saja. Tapi kau tak perlu khawatir bahwa akupun akan menjauhimu, karena nanti aku akan berlari padamu lebih dulu.

                                                                      ---------********----------

"Mau mengajakku kemana?" aku menyela ucapan dia yang sedari tadi sibuk bercerita.

Dirinya tak henti-henti menceritakan bagaimana awal mendapatkan kemampuan itu. Awalnya aku mendengarkan dan sesekali mengangguk untuk menghargainya, tapi lama-lama aku juga penasaran kemana dia akan membawaku. Karena dari tadi dirinya hanya menyuruhku mengikuti tanpa memberitahukan akan pergi kemana.

Ternyata dia cukup beruntung, dari cerita yang kudengar darinya beberapa menit lalu dia mendapatkan sinar yang menyenangkan dan baik hati. Sinarnya perempuan, cantik dan manis. Tapi, kasian sekali sinar itu, dia harus menemani hari-hari pria bawel ini.

Oh iya, sinar yang kumaksud adalah ruh yang mendampingi kami selama nasib belum berubah. Dia bilang aku harus membiasakan lidahku untuk menyebutnya begitu. Entahlah, tapi yang kutahu pasti dia pun mengetahuinya dari Selli.

"Kita belum berkenalan. Aku melupakan tahap awal untuk sebuah pertemuan."

"Panggil saja Yuna."

"Rendi."

Sepertinya aku sudah terbiasa mendengar nama itu, tapi tak ada alasan kuat yang membenarkan perasaanku.

"Nah sampai juga." aku tersadar saat suara berat Rendi menginterupsi.

Ini bukan cafe, bioskop, apalagi festival seperti yang kubayangkan. Aku kira dia akan mengajakku ke tempat-tempat romantis seperti yang biasa anak muda lakukan. Tapi tidak, karena ternyata dia mengajakku ke sebuah perumahan tua.

"Kau tidak bermaksud jahatkan?"


Aku memandangnya takut. Suaraku mulai bergetar dan nyaliku sedikit ciut saat memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja akan terjadi dalam waktu dekat.

"Apa yang dimaksud jahat itu seperti membunuhmu?"

Aku menjitak kepalanya keras. Meski dengan begitu aku harus sedikit berjinjit. Dia itu tipe pria yang tidak pernah berpikir sebelum bicara. Membuatku kesal dan selalu ingin bertingkah brutal jika didekatnya.

"Kenapa kau memukulku?!" Rendi mengusap kepalanya kuat dan cepat, tepat dibagian aku memukulnya. Bahkan dia sampai berjongkok dan mengaduh kesakitan.

"Apa sesakit itu?" aku ikut berjongkok dan membantu mengelus kepalanya. 

Terbesit rasa bersalah dihati saat melihatnya begitu. Sungguh, aku hanya refleks melalukannya, biasanya aku selalu melakukan hal yang diperintahkan otakku saja. Tapi untuk yang tadi memang benar-benar tidak disengaja. 

"Sakit. Apa kau ini mantan tukang angkat barang, hah? Tenagamu besar sekali."

Rendi berdiri dan menatapku takut, meski begitu tangannya masih menyentuh kepala. 

"Untuk apa mengajakku kesini? Apa tak ada tempat lain?" aku berkata seolah tak terjadi apa-apa.

"Kenapa kau tidak sabaran sekali, sih. Coba kau lihat disana!" Rendi menunjuk tempat dibelakang rumah tua. Ternyata ada pohon besar rindang yang tumbuh disana.

"Ohhh kukira..."

"Apa? Apa, hah?" aku tahu dirinya sebal, tapi akukan tidak sengaja. 

"Aku akan menunjukkan sesuatu padamu."

****

"Aku pulang." tak ada jawaban.

Mungkin aku terlalu menganggapnya ada. Sampai selalu bertanya dimana keberadaannya jika aku merasa sendiri.

Intuition of Love (to me youre real)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang