Berpaling

23 5 3
                                    

Coba kamu tanya dirimu sendiri, bagaimana rasanya menjadi aku sekarang. Melihat dia yang biasanya hanya memberikan perhatian penuh hanya padaku, kini berpaling, dunianya sudah beralih pada yang lain.

Perasaanku tak boleh luluh. Sekiranya itu keyakinanku dulu untuk menjadi kuat. Tapi sekarang, aku tak butuh keyakinan seperti itu lagi. Hatiku sudah terlanjur, sudah memilih untuk menautkan naluri padanya. Tapi sayang dipaksa sirna. Aku remuk.

Dikeadaan seperti ini aku tak mungkin lari. Pergi begitu saja diacara makan bersama saat itu sudah cukup membuat orang menyimpan banyak tanya. Tak perlu lagi aku melakukan hal yang sama.

"Kopi." ucap Rendi sambil menyodorkan segelas kopi panas padaku.

"Terimakasih, Ren." jangan anggap aku tak tahu diri atau sejenisnya karena berani menyebut nama atasanku tanpa embel-embel. Karena itu hanya sebuah kebiasaan. Di kafe dia mungkin atasanku, tapi diluar kami adalah teman.

Aku menatap air keruh di cup kecil pemberian Rendi. Pandanganku kosong sementara pikiranku penuh dengan spekulasi tentangnya. Kami yang berpisah dan dia yang lupa, lalu aku datang lagi tapi dia sudah bersama yang lain.

"Tanganmu kenapa?" Rendi berusaha meraih tanganku.

"Tersiram kopi saat di kafe." jawabku. Aku tersenyum padanya.

"Apa perih?" kali ini Rendi meletakan kopi disamping kirinya lalu meletakan tanganku dipangkuannya. Mengelus dan meniupi.

"Sedikit." kataku sambil merapatkan jari telunjuk dan jempolku untuk meyakinkan.

"Bukan ini, tapi itu." Rendi menunjuk dadaku. "Sesak tidak?"

Aku masih diam.

"Jangan kaget, kau lupa bahwa aku juga sepertimu?" apa lagi sekarang?

"Entah kenapa aku bisa dengan mudah menebak isi hatimu."

"Tunggu dulu. Kau mengingatkanku akan sesuatu." aku menghadapkan tubuhku padanya.

"Aku belum tahu semuanya tentang kemampuan ini. Aku tak mengerti sama sekali. Dan... Nenek Selli, bagaimana bisa dia selalu menemukanku? Dan apa hubungannya denganmu? Kau bilang kau-"

"Ssttt... Tenang Yuna. Aku mengerti kau sangat bingung. Tapi kumohon bersabarlah. Aku tak mungkin menceritakannya disini. Lagipula ini sudah malam, sebaiknya kau pulang dan kita lanjutkan pembicaraan ini besok pagi." Rendi bangkit dan menuntun tanganku.

Kami berjalan beriringan ditemani angin malam. Aku menolak untuk diantar pulang olehnya, aku rasa dia sudah cukup lelah dengan mengurus Kensa sebelum kami datang.

Aku jadi teringat gadis itu. Yang sudah membuatku merasa terbuang.

Celoteh Rendi tak begitu aku hiraukan, hanya sesekali anggukan atau gelengen kepala yang aku berikan sebagai respon. Sampai aku teringat sesuatu.

"Ren, kau tahu dimana rumah nenek Selli?" Rendi menatapku bingung.

"Kenapa memangnya? Tumben sekali ada yang bertanya tentangnya."

"Yah... Aku hanya penasaran. Tidak boleh?" tanyaku ragu.

"Tentu saja boleh. Hanya saja aku sedikit heran." Rendi bicara ditengah tawanya.

"Jadi...?" ucapku menunggu jawaban.

"Besok ku antar."

....

Setelah pembicaraan kami kemarin malam, aku dan Rendi memutuskan untuk mengunjungi rumah nenek Selli saat jam makan siang. Selagi menunggu Rendi datang, akupun bekerja seperti biasanya.

Satu pesan masuk sesaat setelah aku melayani pelanggan. Dari nomor tak dikenal.

Maaf semalam tak mengantarmu pulang. Kuharap kau mau mengerti.

Seperti itulah isinya. Dan tentu saja aku langsung tahu siapa pengirimnya.





Yg penting aku up, demi kalian aku nyempet2in. Hhaa
Doain, bntr lagi ujian praktik. Semoga lancar dan aku bisa lanjutin kisah ini dengan cepat. Vote? 😁

Intuition of Love (to me youre real)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang