Kenapa?

22 7 2
                                    

Setelah menerima pesan yang kuduga dari Adnan, rasanya aku dikembalikan pada kejadian malam itu. Bahkan aku tak tahu harus membalas pesan itu bagaimana. Pura-pura baik-baik saja dengan bilang, "Tidak apa-apa." ? Oh ayolah... Hati ini tidak baik-baik saja.

Aku memasukan ponsel kedalam saku celemek lalu tersenyum pada pelanggan sebelum meninggalkan meja. 

'kenapa aku begitu lemah? Tidak seperti biasanya aku berlarut-larut seperti ini.' batinku.

Aku menatap pekerjaan yang tak kunjung usai, selain itu pengunjung tak henti-hentinya berdatangan. Meskipum bisa dikatakan aku sudah naik jabatan, tetap saja rasanya tak tega melihat yang lain kerepotan melayani pelanggan.

Aku melihat jam. Seharusnya dua menit yang lalu Rendi sudah menjemputku. Mungkin dia sedang mengurus sesuatu. Pikirku.

Aku menghela nafas.

Lagi-lagi bayangan wajah khawatir Adnan terbayang dibenakku begitu saja. Juga bagaimana caranya memperlakukan Kensa.

Hatiku berdenyut nyeri mengingatnya. Dan itu terjadi begitu saja tanpa aku suruh.

Melihat kebawah, mataku menangkap sesuatu yang sepertinya tidak sengaja ditinggalkan seseorang. Aku mengambilnya dan memperhatikan baik-baik. Ternyata sebuah salep.

Tentu aku tahu siapa yang meninggalkan ini.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, yang ternyata memungkinkan untuk aku menyelinap ke belakang.

Sesampainya di belakang aku membuka balutan yang dia pasangkan malam itu. Melihatnya saja sudah membuat hatiku menghangat.

Lalu membeku lagi saat tahu pada saat itu juga dia meninggalkanku untuk yang lain.

Ku oleskan perlahan salep itu pada luka ditangan, ternyata cukup perih juga. Tapi kenapa malam itu tak terasa apa-apa?

Setelah melakukan ritual tadi aku memilih kembali bekerja. Tapi saat aku kembali ternyata pelanggannya sudah mulai berkurang, mungkin karena sudah masuk jam kerja. Membuatku berinisiatif untuk membuatkan yang lain kopi.

"Yuna!"

Aku menoleh saat suara itu memanggil namaku.

"Ya?" ternyata Kak Jo yang memanggil. Tapi saat aku menoleh dia hanya geleng-geleng kepala. Aku yang heran kembali melanjutkan membuat kopi.

"Kenapa?" Kevin yang ada di sampingku menepuk bahu pelan.

"Tidak apa-apa." jawabku refleks pada Kevin. Yah, akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku.

"Kau dipanggil." katanya sambil menunjuk dengan dagu.

Aku mengikuti arah pandangnya, ternyata ada Rendi yang sedang mengamatiku tepat di pinggir pintu masuk.

"Kenapa tak memberi tahu?" sesalku.

Kevin memasang wajah bosan, "Kak Jo dari tadi memanggilmu. Kau saja yang tuli."

Aku mencubit pinggangnya. "Siapa yang kau sebut tuli? Aku sedang membuatkan kalian kopi."

"Ya... Terserahlah. Cepatlah bergegas, kau membuatnya menunggu."

Aku menepuk jidat, "Oh iya. Aku lupa. Kalau begitu tolong lanjutkan pekerjaanku ini ya, Kevin yang baik hati. Hehehe..."

Meskipun wajahnya merenggut tapi Kevin menuruti kemauanku. Membuatku tak tahan untuk tidak mencubit pipinya. Kevin mengamuk lalu aku berlari jika sudah begitu.

Aku melihat ke arah Rendi dan tersenyum padanya, tapi kali ini dia terlihat sedikit berbeda. Wajahnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.  Dia melihatku dengan tatapan sulit dimengerti. Tapi cepat berubah setelah aku menghampirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Intuition of Love (to me youre real)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang