Akhirnya aku kerja juga. Jika hanya mengantar makanan saja tugasnya, kurasa tidak terlalu berat. Apalagi sudah di fasilitasi kendaraan. Aku tidak akan menyia-nyiakan ini.
Tapi tiba-tiba aku teringat akan Lusi, temanku yang satu itu memang keterlaluan, menjanjikanku pekerjaan tapi tak kunjung datang membawa kabar. Mungkin akan kukabari dia setelah pekerjaan hari ini selesai.
"Permisi..." bell yang kutekan tadi tak membantu, penghuninya tak mau keluar meskipun jariku sudah lebih dari tiga kali membunyikan bell.
"Tapi alamatnya benar..." gumamku sambil melihat kertas yang berisikan alamat pelanggan.
Lagi-lagi aku melihat papan nama yang tertera disamping pintu masuk. Disana tertulis 'Selli's home.' dan setelah aku cek, memang tak diragukan lagi bahwa nama disana sama dengan nama pelanggan yang membeli makanan ini.
"Sabar Yuna." cukup dengan sugesti yang kusebut tadi, aku kembali bersemangat. Aku bertekad tak akan meninggalkan rumah ini sebelum pemiliknya keluar.
Lagipula siapa juga yang ingin mengecewakan tempat kerjanya dihari pertama kerja?
"Oke sekali lagi!" tekadku sebelum mengetuk pintu.
Dan ternyata, pintu terbuka disaat tanganku masih berada diposisi akan mengetuk. Melayang begitu saja diudara seakan terpaku menatap pelanggan yang akhirnya mau membukakan pintu.
"Ya... Aku dengar ketukan dan suara bell-nya Nak, tidak bisakah kau bersabar sebentar? Aku sudah tua, menggerakkan kaki saja sangat berat bagiku." ujarnya berkeluh kesah, membuatku mau tak mau memberikan senyum bersalah.
Jika boleh membela diri, aku akan berkata : "Apapun alasannya, aku sudah lama berdiri disini. Lagipula aku tak tahu kalau kau seorang Nenek!"
Tapi tidak, hanya dibayangkan saja. Aku tak tega.
"Maaf, Nek. Aku kira tidak ada orang." Yes! Akhirnya aku menemukan kalimat yang pas.
"Ini, ambillah uangnya dan lekas kembali. Bos-mu sudah menunggu untuk pesanan yang lain."
"Baik. Terimakasih..." setelah mengambil uangnya, aku segera beranjak pergi dan bersiap untuk alamat selanjutnya.
Aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang, namun dibeberapa situasi aku kadang melaju dengan kencang. Mengingat jalanan yang tidak cukup ramai.
Konon, jalanan ini sering dilalui banyak kendaraan besar dengan muatan berton-ton sehingga membuat jalanannya mudah rusak. Maklum, dizaman seperti ini banyak para pejabat yang korupsi. Hingga tak jarang dana untuk perbaikkan jalanpun mereka gerogoti demi memuaskan kantong. Dan mereka -bahkan aku- yang notabene hanya rakyat kecillah yang menanggung dampaknya.
Anggap saja aku sedang membawa puluhan mood baik, namun sekejap semuanya berjatuhan dijalanan karena guncangan yang kuperoleh dari bebatuan dan lubang besar yang mengenai ban motorku.
Sial.
Baru saja lima menit yang lalu aku berdamai dengan perasaan jengkel akibat jalanan itu, kini aku dihadapkan lagi dengan mobil yang bersikeras tak memberiku akses untuk menyelip. Heran, mereka yang berada didalam mobil tak akan rugi jika motor ingin mendahului, mereka bisa tetap duduk manis didalam mobil dengan AC yang menyala meskipun para motor mendahului mereka.
Tapi bayangkan jika motor yang dibelakang. Terkena debu dari knalpot mobil, jalan terhambat, belum lagi jika hujan, tamatlah.
Mereka para pengendara roda empat itu selalu saja menggunakan jalan seenaknya. Bahkan sering mereka menganggap jalanan seakan miliknya. Maju dengan santainya, tak mempedulikan pengendara lain yang sedang terburu-buru. Sedangkan saat akan disalip, mereka menancap gas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuition of Love (to me youre real)
ChickLit"Saat nanti kau tak ingat wajahku, suaraku, sifatku atau rasaku, aku memang tersakiti. Namun ketahuilah diatas semua itu ada yang lebih menyakitkan, yaitu saat tak ada ceritaku dalam kenanganmu." - Yuna Ini adalah kisah Yuna yang selalu bertanya p...